Mbah Dasno Penjaga Terakhir Dawet Dibal di Tengah Gempuran Minuman Kekinian: Jaga Warisan Budaya

Sudah lebih dari setengah abad, Mbah Darso setia dengan dawetnya. Ia mulai berjualan dawet sejak tahun 1970-an, ketika ia baru beranjak dewasa.

Penulis: Tri Widodo | Editor: Rifatun Nadhiroh
TRIBUNSOLO.COM/Tri Widodo
PENJUAL DAWET - Mbah Dasno (66), satu-satunya penjual dawet tradisional yang tersisa dari Desa Dibal, Ngemplak, Boyolali. Desa yang dulu dikenal sebagai sentra minuman khas ini. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI – Matahari sudah meninggi ketika suara sendok beradu dengan mangkuk terdengar pelan di bawah pohon rindang dekat area pemakaman Dukuh Wangkis, Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali.

Seorang pria tua dengan tubuh ringkih tetapi masih sigap tampak melayani pembeli satu per satu. 

Mbah Dasno (66), satu-satunya penjual dawet tradisional yang tersisa dari Desa Dibal

Desa yang dulu dikenal sebagai sentra minuman khas ini. 

Baca juga: Kuliner Khas Solo Es Dawet Telasih Bu Dermi, Sudah Ada Sejak Pasar Gede Solo Didirikan Tahun 1930

Sudah lebih dari setengah abad, Mbah Darso setia dengan dawetnya. 

Mbah Dasno mulai berjualan dawet sejak tahun 1970-an, ketika ia baru beranjak dewasa.

Dengan pikulan sederhana di pundaknya, ia berjalan kaki berkeliling desa, menyusuri pematang sawah, bahkan hingga masuk ke Kota Solo. 

“Awalnya saya keliling, dulu bisa sampai ke Pasar Kembang di Laweyan sana,” kenangnya dengan senyum yang memancarkan kebanggaan.

Kala itu, minuman ini begitu populer di kalangan petani. 

Setiap musim panen, Mbah Dasno kerap berhenti di gubuk-gubuk sawah untuk melayani mereka yang beristirahat.

“Kalau jualan jauh, pas musim panen padi dan jagung, sering berhenti di gubuk pinggir sawah, jualan ke orang yang lagi panen. Senang rasanya lihat mereka yang lelah bisa seger lagi setelah minum dawet,” tuturnya.

Zaman itu, Mbah Dasno bukan satu-satunya penjual.

Menurutnya, hampir setiap gang di Desa Dibal memiliki pedagang dawet keliling. 

"Dulu ada puluhan yang jualan, semuanya bikin sendiri, nggak ada yang beli jadi. Rasanya beda-beda, tapi semua khas Dibal,” ujarnya.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved