TRIBUNSOLO.COM - Ketua BEM UGM Yogyakarta, M Atiatul Muqtadir atau Fathur, menyebutkan sejumlah poin terkait penolakan bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk diskusi soal RUU yang disahkan oleh DPR.
Melalui cuitannya pada Jumat (27/9/2019), Fathur mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Presiden Jokowi yang telah mengundang langsung para perwakilan mahasiswa.
Penolakan bertemu, menurut Fathur, karena waktu yang dilakukan dianggap kurang tepat.
• Sikap Ketua BEM UGM Jadi Sorotan karena Tolak Bertemu Presiden Jokowi hingga Soal Penolakan RUU P-KS
Selain itu, tuntutan yang diminta oleh para mahasiswa dianggap sudah jelas, sehingga Presiden Jokowi diharapkan bisa langsung menindaklanjutinya.
Berikut rilis lengkap dari Fathur:
Rilis Sikap BEM KM UGM
Terhadap Undangan Pertemuan dengan Presiden Joko Widodo
Menyikapi undangan terbuka ajakan pertemuan dari Presiden Joko Widodo kepada mahasiswa, BEM KM UGM dengan ini menyatakan:
Bahwa sesungguhnya setiap aspirasi mahasiwa berasa dari kantung-kantung kegelisahan masyarakat akibat tidak sesuainya kebijakan negara dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bahwa pada aksi kemarin, tidak hanya melibatkan mahasiswa, tapi juga kaum buruh, petani dan nelayan yang juga terdampak apabila sejumlah RUU disahkan.
• M Atiatul Muqtadir Ketua BEM UGM Debat dengan Moeldoko yang Singgung Aksi Besar-besaran Mahasiswa
Sehingga, kami menyesalkan undangan tersebut hanya ditujukan untuk mahasiswa tanpa melibatkan perwakilan elemen masyarakat lainnya.
Bahwa di saat yang sama, kami kecewa atas setiap tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan yang mana di era pasca-Reformasi seolah mendapatkan angin segar.
Presiden Jokowi seharusnya bisa menangani setiap aksi demonstrasi sebagai bagian aspirasi publik dengan cara yang persuasif, humanis, dan tidak represif.
Namun demikian, kondisi saat ini mengharuskan Presiden untuk ambil bagian dalam mengusut, menindak, dan memberikan sanksi kepada aparat yang telah melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi.
Bahwa hari ini mahasiswa sedang beruka cita sehubungan dengan adanya korban luka maupun korban jiwa yang menimpa massa aksi di berbagai daerah.
• Presiden KM ITB: Ini Dewan Perwakilan Fahri Hamzah Bukan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
Kami memandang menghadiri undangan di istana di tengah kondisi seperti ini merupakan sikap yang kurang etis untuk dilakukan.
Bahwa kami melihat apresiasi pemerintah terhadap demonstrasi tidak sesuai dengan tindakan pemerintah baru-baru ini yang melakukan penangkapan aktivis dan penahanan massa aksi serta adanya instruksi kepada menristekdikti untuk meminta rektor menertibkan mahasiswa yang ingin mengartikulasikan pikiran di arena publik.
Bahwa Aliansi BEM Seluruh Indonesia pernah diundang ke Istana Negara satu kali pada 2015.
Akan tetapi, undangan tersebut dilakukan di ruang tertutup.
Hasilnya jelas, gerakan mahasiswa terpecah.
Kami belajar dari proses ini dan tidak ingin menjadi alat legitimasi pengusa yang sedang krisis legitimasi publik, sehinga akhirnya melupakan substansi terkait beberapa tuntutan aksi yang diajukan.
Bahwa kami merasa tuntutan yang kami ajukan telah tersampaikan secara jelas di berbagai aksi dan juga jalur media.
• Gibran Anak Jokowi Berpeluang Daftar Wali Kota Solo Lewat DPD-DPP, Ini Tanggapan Achmad Purnomo
Sehingga sejatinya yang dibutuhkan bukanlah sebuah pertemuan, melainkan sikap tegas Presiden terhadap tuntutan mahasiswa.
Secara sederhana, tuntutan kami tidak pernah tertuju pada pertemuan, melainkan ktujuan kami adalah Bapak Presiden memenuhi tuntutan.
Sehingga BEM KM UGM menyatakan sikap:
1. Tidak menghadiri undangan pertemuan dengan Presiden yang dilakukan pada Jumat, 27 September 2019.
2. BEM KM UGM hanya bersedia bertemu Presiden apabila:
- Dilaksanakan secara terbuka dan dapat disaksikan langsung oleh publik melalui kanal televisi naisonal.
- Presiden menyikapi berbagai tuntutan mahasiswa yang tercantum di dalam 'Maklumat Tuntaskan Reformasi' secara tegas dan tuntas.
Demikian sikap BEM KM UGM.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!
(*)