Laporan Wartawan TribunSolo.com, Agil Tri
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Sadranan tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat jawa.
Tradisi tersebut, biasanya dilakukan saat bulan ruwah menjelang puasa.
Sadranan pada praktiknya dilakukan masyarakat dengan cara mengirim doa pada leluhur.
Baca juga: Sadranan di Jawa Sambut Puasa Ramadan Ternyata Ada Sejak Zaman Majapahit, Begini Sejarahnya
Baca juga: Tradisi Sadranan di Sragen Digelar saat Bulan Ruwah, Ternyata Ini Maknanya
Masyarakat berduyun-duyun mengirim doa kepada arwah leluhur, membersihkan makam, dan memanjatkan doa hingga selamatan dengan membawa makanan.
Kebiasaan itu ternyata sudah terjadi sejak zaman Majapahit masih berkuasa.
Menurut Pegiat Sejarah dan Budaya Solo, Surojo, kata Sadranan sendiri diambil dari kata sanskerta 'Sraddha'.
"Sraddha sendiri memiliki arti mengingat roh leluhur," katanya kepada TribunSolo.com, Sabtu (26/3/2022).
Tradisi ini bermula saat era kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Saat itu, Gajah Mada memerintahkan Hayam Wuruk untuk melestarikan kembali leluhur mereka, yakni Rajapatni Gayatri.
Perintah Gajah Mada itu kemdian disanggupi oleh Hayam Wuruk, yang memerintahkan para Brahmana untuk menyiapkan tata upacaranya.
"Dulu upacara nyadran ini dilakukan di candi-candi," ujarnya.
Baca juga: Ada Sadranan Jelang Puasa, Penjual Bunga Tabur di Sragen Banjir Uang : Pendapatan Naik 5 Kali Lipat
Baca juga: Inilah Sadranan, Tradisi Turun Temurun Warga Cepogo Boyolali yang Lebih Meriah Ketimbang Idul Fitri
Tradisi itu terus berjalan hingga era Islam masuk ke tanah Jawa.
Namun, tata cara nyadran sendiri berubah menyesuaikan ajaran islam.
Di masa Sultan Agung, menetapkan tahun Jawa yang memadukan kalender islam dengan kalender saka, lalu ditetapkan bulan ruwah.
"Pelaksanaan sadranan sebelum bulan puasa karena sejak Mataram Islam, kebiasaan masyarakat Jawa seperti itu," jelas dia.
Nyadran di Cepogo Boyolali
Biasanya, lebaran idul fitri digunakan sebagai waktu bagi perantau untuk pulang ke kampung halamannya.
Masyarakat kemudian saling berkunjung ke sanak keluarga agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin.
Tapi sebagian warga Cepogo justru ‘lebaran’ lebih dulu.
Jelang puasa banyak digunakan perantau atau sanak keluarga untuk saling berkunjung.
Baca juga: Potret Sadranan di Cepogo Boyolali : Awalnya Hanya Bawa Palawija, Kini Beragam Makanan Turut Serta
Seperti yang terlihat di Dukuh Tunggulsari, Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Minggu (20/3/2022).
Disana, warga saling silaturahmi dengan tetangga dan family. Di setiap rumah, pun terlihat suasana gembira.
Pemilik rumah sumringah kedatangan tamu. Aneka makanan pun tersaji di meja.
Sebagian lagi tersaji di gelaran tikar atau karpet di lantai rumah.
Para tamu bisa memilih makanan yang tersaji. Sebagian makanan buatan tuan rumah seperti sagon, kelepon dan buah-buahan.
Ada pula nasi lengkap dengan lauk pauk seperti sate, ayam goreng, sambel goreng ati dan sup.
Baca juga: Ini Kampung Pijat Boyolali, Warganya Punya Keahlian Memijat Bayi hingga Program Hamil
Tuan rumah pun berkali-kali meminta para tamu untuk menyantap makanan yang tersaji.
Semakin banyak tamu yang datang, tuan rumah pun semakin senang.
Demikian pula jika tamu menikmati sajian, tuan rumah semakin puas.
Seperti terlihat di kediaman Nusfari warga Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Cepogo. Rumahnya dipenuhi para tamu dan kerabat.
Kursi dikeluarkan dari ruang tamu dan diganti dengan karpet agar bisa menampung lebih banyak tamu.
Nasfuri merasa senang lantaran sudah dua tahun tradisi sadranan tidak bisa digelar.
Baca juga: Gegara Api Kompor Sambar Bensin, 2 Kamar Indekos di Boyolali Terbakar, Rugi Rp 27 Juta
Baru tahun ini, tradisi tahunan ini bisa diadakan lagi. Dia pun tetap membuka pintu rumah alias open house.
Karena banyak saudara yang ingin mampir bersilaturami meski di sisi lain suasana sadranan tahun ini terasa lebih lengang.
"Tahun lalu mau sadranan ke makam harus nyolong-nyolong saat malam. Karena tradisi ini sudah turun temurun untuk mendoakan para leluhur. Yang merantau biasanya pulang dan lebih ramai lagi,” jelasnya, kepada TribunSolo.com, Minggu (20/3/2022).
Dia mengatakan sebelum pandemi Covid-19, pengunjung atau warga yang mengunjungi lebih banyak.
Bahkan arus lalu lintas di jalan-jalan desa di Sukabumi bisa sampai padat merayap.
“Tapi karena pandemi sempat berhenti dua tahun (2020-2021). Tahun ini juga terbatas, kalau dulu jalan depan rumah itu gak bisa dibiyak (diurai),” terangnya. (*)