Penjualan Batik di Sragen Sepi

Pengusaha Batik di Sragen Keluhkan Pasar Lesu: Kondisi Kini Lebih Sulit dari Era Covid-19

Pengusaha batik di Sragen mengeluh sepi, kondisi ini lebih buruk dibanding era Covid-19.

TribunSolo.com/Septiana Ayu Lestari
PENGUSAHA BATIK. Salah satu penguasaha batik asal Kabupaten Sragen, Wiwin Muji Lestari saat ditemui TribunSolo.com, Kamis (30/10/2025). 
Ringkasan Berita:
  1. Pengusaha batik di Sragen mengeluhkan kondisi ekonomi yang masih sulit dan pasar batik lesu.
  2. Wiwin Muji Lestari, pemilik Batik Nuri Lestari, menyebut tahun ini paling berat dalam 25 tahun usahanya.
  3. Ia menilai situasi sekarang lebih parah dibanding masa pandemi Covid-19 karena dampak ekonomi global.
  4. Penjualan batik kini menurun drastis dibanding sebelum pandemi.
  5. Meski begitu, batik mulai diminati generasi muda untuk berbagai seragam.

 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Kondisi ekonomi kini masih sulit dan belum membaik.

Hal itu dirasakan para pengusaha batik, terutama di Kabupaten Sragen.

Pemilik Batik Nuri Lestari asal Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Wiwin Muji Lestari, mengatakan kondisi pasar batik kini lemah, letih, dan lesu.

“Lemah, letih, lesu, jadi tidak menentu. Kalau pembelinya butuh seragam yang beda, pasti beli. Kalau ada motif baru, pasti laku, nggak mungkin nggak laku,” katanya kepada TribunSolo.com, Kamis (30/10/2025).

Baca juga: Serupa tapi Tak Sama, Ini Lho Perbedaan Batik Solo dan Batik Jogja, Bisa Terlihat dari Motifnya

“Ya, masih ramai dulu, tapi kan namanya ekonomi naik turun. Jadi, ada masa batik jaya-jayanya, ada masa sedang, ada masa letih, lemah, lesu. Tapi kalau sedang redup, bagaimana caranya berinovasi, membuat sesuatu yang khas, yang orang lain tidak punya, tapi kita punya, karena kita mayoritas batik tulis,” tambahnya.

Jadi Tahun Tersulit

Menurutnya, selama 25 tahun menjalankan usaha batik, tahun ini menjadi tahun tersulit bahkan masih lebih baik masa pandemi Covid-19 dibanding sekarang.

“Tahun ini situasi paling sulit. Covid-19 masih mending. Penyebabnya bukan karena banyak saingan, tapi terdampak ekonomi global,” jelasnya.

“Intinya masih mending era Covid-19. Sebelum Covid malah panen terus. Kalau pas Covid-19 kadang masih dapat Rp3.000.000–Rp5.000.000 sehari, kalau sekarang ini aku menangis,” sambungnya.

ILUTRASI MEMBATIK. Gambar pembuatan batik. Di Sragen pengusaha mengeluh usaha batik sepi.
ILUTRASI MEMBATIK. Gambar pembuatan batik. Di Sragen pengusaha mengeluh usaha batik sepi. (Tribun Solo / Istimewa)

Wiwin menjelaskan, kini batik tidak hanya diminati golongan orang tua saja, melainkan juga mulai populer di kalangan generasi muda.

Baik untuk seragam kerja, instansi, maupun karang taruna, banyak yang kini memakai batik.

“Saat ini anak muda juga banyak yang bikin batik, karena ada banyak seragam-seragam instansi, karang taruna, RT, apa pun kan pakai batik. Anak muda sekarang senang pakai batik yang slim-slim itu,” pungkasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved