Tekuni Rajut, Ibu-ibu Komunitas Rajuters Solo Ini Pasarkan Karyanya hingga Tembus Pasar Eropa
Beberapa diantaranya terlihat merajut tas, ada pula yang merajut sepatu hingga ada yang merajut taplak meja.
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Rumah di Jl Samanhudi no 11 terlihat seperti rumah warga yang sederhana.
Di halaman rumah, terdapat sepanduk bertuliskan Rumah Komunitas Rajut Solo.
Saat masuk ke ruangan pertama, terlihat sejumlah ibu-ibu yang sedang sibuk memegang alat rajut dan benang.
Beberapa diantaranya terlihat merajut tas, ada pula yang merajut sepatu hingga ada yang merajut taplak meja.
Para ibu-ibu ini merupakan anggota Komunitas Rajut Solo atau yang kerap disebut Rajuters Solo.
"Ada sekitar 30 sampai 40 anggota yang aktif di komunitas ini."
"Anggotanya tidak hanya berasal dari Kota Solo tetapi juga kabupaten di Solo Raya," ujar Wakil Ketua Komunitas Rajuters Solo, Titus Dipa Srayasri, Rabu (28/9/2016).
Dipa mengatakan pertemuan anggota komunitas yang dibentuk tahun 2012 ini berlangsung secara tidak sengaja.
"Ada yang ketemu di toko benang lalu ternyata sama-sama suka merajut kemudian mengajak rekan lainnya untuk bertemu dan membicarakan soal merajut," sambungnya.
Dari pertemuan tersebut akhirnya terbentuklah komunitas tersebut.
Selain membicarakan merajut, mereka juga membahas tentang pemasaran produk hasil rajutannya.
"Setiap anggota biasanya punya keahlian masing-masing, seperti tas, sepatu, selimut hingga sweater, dan pemasaran kami tidak hanya dari dalam negeri bahkan sudah ke sejumlah negara di Eropa," papar Dipa.
Dia juga menjelaskan jika para anggota komunitasnya berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Dipa mengatakan dia dahulunya sempat bekerja sebagai instruktur komputer.
Namun pada tahun 2007 lalu, perusahaan tempatnya bekerja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) masal dan dirinya juga terkena PHK.
Selama dua tahun, Dipa mencari jati dirinya untuk merambah ke dunia wirausaha hingga akhirnya hobinya merajut sejak kecil dijadikannya mata pencaharian.
"Suka merajut sebenarnya sejak kecil, tetapi baru menekuni dunia merajut usai di PHK atau tahun 2009."
"Dari modal hanya Rp 80.000 kini saya punya galeri di mal serta produk sepatu rajutan saya ini sampai dipasarkan ke Jerman dan Belanda," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh anggota lainnya Komunitas Rajuters Solo, Her Sulistiyorini yang baru menekuni usaha merajut pada tahun 2013.
"Sebelumnya saya hanya dagang benang saja."
"Kemudian tertarik untuk belajar merajut dan saya lalu belajar dari YouTube (website yang berisi video, Red) hingga akhirnya bisa menghasilkan karya seperti tas rajut sampai payung hiasan rajutan," ujarnya.
Hasil karyanya, dikatakan Her sempat beberapa kali dipesan oleh para istri pejabat di Solo Raya hingga diekspor ke Australia dan Belanda. (Tribun Jateng/Suharno)