Seratusan Pabrik di Jabar 'Migrasi' ke Jateng karena Beban Upah, Begini Analisis Pakar Ekonomi UNS
Desas-desus semakin banyaknya pabrik di Jabar yang memindahkan usahanya di Jateng karena beban upah, dinilai akan menimbulkan banyak spekulasi.
Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Desas-desus semakin banyaknya pabrik di Jawa Barat (Jabar) yang memindahkan usahanya di Jawa Tengah (Jateng) karena beban upah, dinilai akan menimbulkan banyak spekulasi.
Lantas, bagaimana analisis pakar dengan fenomena 'migrasinya' pabrik yang telah mencapai 100-an diungkapkan oleh Gubernur Jabar, Ridwan Kamil?
Pakar Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Lukman Hakim menilai keputusan migrasinya perusahaan padat karya yang sudah mencapai seratusan pabrik itu memang mampu menekan urbanisasi yang terjadi di Jateng.
Ditambah lagi, itu juga dapat dilihat sebagai upaya perusahaan untuk mendekati asal-usul buruhnya.
"Para pekerjanya orang Jateng dan sekitarnya, makanya mereka kembali ke sini malah lebih murah (biaya produksi)," terang Lukman kepada TribunSolo.com, Kamis (28/11/2019).
"Itu juga akan menciptakan lapangan kerja, dari pada masyarakat urbanisasi," imbuhnya menekankan.
Lukman menjelaskan penciptaan lapangan pekerjaan bisa terjadi karena perusahaan padat karya memerlukan banyak tenaga kerja.
• Bekraf Sebut Jumlah Startup Indonesia Naik Jadi 1.018 Perusahaan yang Bergerak di Berbagai Bidang
• Ramai Kenaikan UMK 2020, Ini Cara Jitu untuk Investasi ala Milenial
"Padat karya itu masih memerlukan banyak tenaga kerja, artinya buruh-buruh pabrik, ya, menjahit macam-macam untuk membuat barang-barang berorientasi ekspor," jelas Lukman.
Namun, Lukman mengingat perpindahan perusahaan dari Jabar ke Jateng tentu tidak akan selalu mulus.
Mereka tentu akan dihadapkan pada kesulitan ketersediaan lahan di Jateng.
"Paling sulit itu menyediakan lahannya, tidak semua kabupaten/kota masih punya lahan yang cukup," jelas Lukman.
• Angka Kenaikan UMK Klaten 2020 Dianggap Pas, Pekerja di Klaten Diharapkan Taati Aturan
• Kenapa Pulsa Tak Masuk Komponen KHL untuk Hitungan UMK 2020? Ini Penjabaran APINDO Solo
Kesulitan itu muncul karena setiap kabupaten/kota telah memiliki rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menekankan pada ketersediaan ruang terbuka hijau.
"Itu sudah direncanakan lama, seperti jalur hijau, ada tempat-tempat yang tidak diperuntukkan industri, ada sawah kan repot," terang Lukman.
"Sawah ini tidak boleh dikurangi, kalau dikurangi ketahanan pangan berkurang, problemnya mengenai ketersediaan lahan," tambahnya.