Ilmuwan Sebut Matahari Masuk Fase Lockdown, Bisa Timbulkan Bencana Gempa Bumi hingga Kelaparan
Para ilmuwan menyebut, matahari kini masuk pada fase lockdown. Fase ini bisa menimbulkan bencana di bumi. Mulai dari gempa bumi hingga kelaparan.
Penulis: reporter | Editor: Tribun Network
TRIBUNNEWS.COM - Para ilmuwan menyebut, matahari kini masuk pada fase lockdown.
Fase ini bisa menimbulkan bencana di bumi.
Mulai dari gempa bumi hingga kelaparan.
Pusat tata surya, matahari, saat ini tengah berada dalam fase minimum matahari.
Terjadi penuruan aktivitas di permukaan matahari secara dramatis.
Mengutip dari The Sun, para ahli percaya bahwa akan terjadi periode terdalam dari resesi sinar matahari yang pernah tercatat sebagai bintik matahari yang telah menghilang.
Fenomena tersebut dijelaskan oleh astronom Dr Tony Philips.
Philips menyebut, medan magnet matahari menjadi lemah.
Hal ini memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya.
• Madagaskar Catat Kematian akibat Virus Corona Pertama, Pria Petugas Parkir Berusia 57 Tahun
• Pakar: Vaksin Virus Corona Mungkin Ada di Akhir Tahun 2020, tapi Jangan Mengandalkan
• UPDATE Corona Global Senin, 18 Mei 2020 Pagi: Kasus di Arab Saudi Tembus 54 Ribu
Kelebihan sinar kosmik ini akan membahayakan kesehatan.
Kesehatan astronot bisa terancam.
Sinar ini juga dapat memicu adanya petir.
"Solar Minimum sedang berlangsung, dan itu yang dalam."
“Hitungan Sunspot menunjukkan bahwa ini adalah salah satu yang terdalam abad ini. Medan magnet matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya."
"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan pelancong udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer atas Bumi, dan dapat membantu memicu petir," katanya.

Para ilmuwan NASA pun khawatir akan adanya pengulangan Dalton Minimum yang terjadi pada 1790-1830.
Fenomena tersebut membuat musim dingin berkepanjangan, susah panen, kelaparan, hingga letusan gunung api yang kuat.
Bahkan suhu anjlok hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun.
Hal ini membuat produksi pangan duni hancur.
Maengutip dari sumber yang sama, pada 10 April 1815, letusam gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun terjadi di Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.
Letusan tersebut menewaskan setidaknya 71 ribu orang.
Satu tahun kemudian, pada 1816, terjadi musim dingin berkepanjangan yang disebut Year Without a Summer, karena terjadi salju di bulan Juli.
Sepanjang tahun ini, matahari telah kosong tanpa bintik matahari mencapai 76 persen.
Angka tersebut melampaui angka sebelumnya di Zaman Antariksa saat 77 persen kosong.
Sementara itu, mengutip dari Daily Mail, fase lockdown matahari ini dapat menyebabkan ledakan "sprite".
Ledakan yang dimaksud yakni cahaya oranye dan merah yang melesat keluar dari puncak badai seperti pohon-pohon setinggi 60 mil di langit.
Met Office dan anggota Royal Astronomical Society meminta masyarakat untuk tidak panik terhadap fenomena tersebut.
Hal ini lantaran fenomena yang terjadi merupakan sifat alami.
Seperti yang diketahui, matahari merupakan salah satu binta yang membuat bumi tetap hidup.
Maka segala aktivitasnya mungkin akan menimbulkan konsekuensi.
Ilmuwan Met Office Jeff Knigt menegaskan bahwa, meski menimbulkan musim dingin berkepanjangan, kemungkinan sangat kecil.
Jeff memprediksi, penurunan suhu tak akan mencapai 20 derajat.
"Minimum matahari kemungkinan akan mempengaruhi suhu rata-rata global, menjadikannya lebih dingin, tetapi hampir tidak mencapai 20 derajat," katanya.
Meski bumi akan mengalami penuruan suhu, hal ini tidak berarti bahwa masalah pemanasan global telah selesai.
"Hanya karena kita dalam jumlah minimum, itu tidak berarti pemanasan global akan ditangkap atau dibalik - ini memiliki efek yang jauh lebih halus daripada itu," katanya.
(Tribunnews.com/Miftah)