Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Kisah Dalang Wartoyo di Boyolali : Raup Rp 80 Juta Per Pentas,Kini Gigit Jari,Jual Mobil untuk Makan

Di balik aksi protes Ki Dalang Gondo Wartoyo yang menghancurkan gamelan hingga gong dengan palu, ternyata tersembunyi cerita lain.

Penulis: Azfar Muhammad | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com/Istimewa
Ki Dalang Gondo Wartoyo di Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Azhfar Muhammad Robbani

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Di balik aksi protes Ki Dalang Gondo Wartoyo yang menghancurkan gamelan hingga gong dengan palu, ternyata tersembunyi cerita lain.

Wartoyo yang tinggal di Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali sempat mengalami kejayaan sebelum pandemi.

Selain pelaku seni, Wartoyo adalah seorang ayah dari 6 orang anak.

Dikisahkan, kiprah dan perjalanan karir Wartoyo sebagai pendalang sejak tahun 1993.

“Sudah berpuluh-puluh tahun saya mendalang, dan baru kali ini saya merasa terpuruk dan tidak bisa hidup,” ungkapnya kepada TribunSolo.com, Sabtu (3/4/2021).

Ki Dalang Gondho Wartoyo menghancurkan alat pentas untuk pewayangan di depan rumahnya di Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penampakan alat-alat yang rusak dan berantakan, Sabtu (3/4/2021).
Ki Dalang Gondho Wartoyo menghancurkan alat pentas untuk pewayangan di depan rumahnya di Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penampakan alat-alat yang rusak dan berantakan, Sabtu (3/4/2021). (TribunSolo.com/Azhfar Muhammad)

Baca juga: Viral Dalang di Boyolali Hancurkan Gamelan & Gong dengan Palu : Frustasi,Tak Ada Izin Selama Pandemi

Baca juga: Kagetnya Mertua di Ceper Klaten, Kini Belum Ada Kabar Lanjutan Pasca Menantunya Ditangkap Densus 88

Wartoyo mengungkapkan perjalanan karirnya dimulai sejak dirinya lulus dari sekolah menengah atas.

“Awalnya setelah saya lulus SMA kita (tim) menginisasi untuk menggelar pertunjukan di Desa maupun di Kampung,” ujarnya.

Setelah itu ia sampaikan pertunjukan yang ia inisiasi merambat semakin besar dan mulai banyak dikenal orang.

“Yah sekitar tahun 90-an lumayan terus drastis banyak yang ingin menonton pertunjukan tradisional rakyat ini,” ujarnya.

“Sehingga pada tahun awal 2000-an kami sempat naik daun dan banyak disosialisasikan di berbagai kegiatan pemerintah,” kata dia membeberkan.

Ia sampaikan mulai dari rakyat biasa, pengusaha, gubernur, pejabat dan beberapa instansi ternama meminta kepada dirinya untuk melakukan pertunjukan seninya.

“Macam-macam pokonya bahkan dulu di zaman itu (tahun 2000-an) bisa menghasilkan Rp 15-20 juta per pentas," papar dia.

Bahkan sebelum pandemi bersama timnya bisa menggelar pentas pagelaran seni pewayangan sebanyak 15 - 28 kali setiap bulannya.

“Ya dari setiap sekali tampil macam-macam juga pendapatanya, kadang Rp 25 juta, Rp 30 juta , Rp 40 juta tapi itu belum dibagi rata banyak orang di tim, tergantung siapa yang mengundang,” ujarnya.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved