Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Teka-teki Batu Giling Berlubang di Masaran, Warisan Masa Lampau, Tak Ada yang Berani Memindahkannya

Ada yang menarik dan misterius di tengah Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.

Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com/Septiana Ayu
Batu giling di Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Ada yang menarik dan misterius di tengah Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.

Tak hanya ada gua misterius yang memiliki sejarah panjang saat dipakai Pangeran Mangkubumi kala masa penjajahan.

Tapi disamping poskamling Dukuh Gebangkota, terdapat sebuah batu berbentuk tabung sempurna dengan diameter kurang lebih 70 cm, dengan tinggi 80 cm.

Baca juga: Di Gua Inilah, Pangeran Mangkubumi dan Rombongan Prajuritnya Sembunyi dari Kejaran Penjajah Belanda

Baca juga: Kisah Sedih Paiman dari Klaten, Dapat Rp 6 Miliar dari Tol Solo-Jogja, Bukannya Untung Malah Buntung

Bagian atas berbentuk seperti gerigi, dan terdapat lubang di bagian tengahnya.

Batu berwarna hijau, karena sudah dicat oleh warga setelah dipindahkan dari tempat asalnya dipinggir sungai Mungkung.

Oleh warga sekitar, batu tersebut disebut sebagai batu giling.

Kegunaannya belum diketahui secara pasti, karena batu itu diperkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1700-an.

Ada dua versi terkait kegunaan dari batu tersebut menurut warga setempat.

Perangkat Gebang, Jumali mengatakan dulunya batu tersebut digunakan sebagai alat penggilingan tebu secara manual.

"Katanya untuk menggiling tebu, daerah sini dulunya daerah tebu semua, menurut cerita orang dulu seperti itu," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (22/9/2021).

Jumali menambahkan, sebenarnya terdapat 2 batu giling yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama.

Sayangnya, satu batu lainnya kini sudah hilang karena saat ditemukan sudah dalam keadaan pecah.

Versi kegunaan lainnya, diungkapkan oleh Suroto, ketua RW setempat, yang tinggal tak jauh dari batu giling itu diletakkan.

Menurut Suroto, batu tersebut sering diteliti oleh arkeolog dari UNS Solo maupun UGM Yogyakarta.

Saat ditanya Suroto, arkeolog menjelaskan jika batu tersebut diduga sebagai alat untuk penggilingan serat, yang digunakan untuk membuat sejenis karung.

"Orangtua dis ini memang tidak tahu asal-usulnya, tapi saya tanya arkeolog yang sering datang ke sini prediksinya untuk menggiling serat," jelasnya.

Serat yang dimaksud ialah serat yang digunakan untuk membuat karung goni.

Hal itu diperkuat dengan lokasi ditemukan yang berada di pinggir aliran sungai.

Bahkan konon ceritanya tak ada yang berani memindahkan batu misterius tersebut.

"Karena untuk menggiling serat, membutuhkan air yang terus mengalir," jelasnya.

"Jadi bukan untuk membuat gula, namun membuat kain, prediksinya seperti itu," tambahnya mengakhiri.

Gua Tempat Bersembunyi

Ternyata di Sragen memiliki banyak cerita masa lampau yang tak banyak orang tahu.

Apa itu? Ya, satu di antaranya adalah cerita asal-usul gua di bawah akar pohon beringin di Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran.

Letaknya tak jauh dari jalan raya, dan berada di tepi Sungai Mungkung.

Kondisinya begitu istimewa, karena di sekitarnya sudah menjalar akar di mana-mana.

Baca juga: Jejak Pangeran Mangkubumi di Jenar : Buat Keraton Ing Alaga, Warga Sering Temukan Batu Bata Raksasa

Baca juga: Misteri Perusakaan SDN di Boyolali Belum Terpecahkan, Polisi Pun Hentikan Penyelidikan Sementara

Menurut Perangkat Desa Gebang, Jumali mengatakan konon gua tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dari kejaran pasukan penjajah Belanda.

Sebelumnya, diketahui Pangeran Mangkubumi keluar dari Keraton Surakarta untuk melakukan pemberontakan terhadap penjajah Belanda.

Pangeran Mangkubumi sempat mendirikan sebuah pemerintah di Desa Pandak, Kecamatan Masaran, yang kini disebut sebagai Kabupaten Sragen.

Karena dirasa Desa Pandak kurang strategis, Pangeran Mangkubumi melanjutkan gerilyanya ke Desa Gebang.

"Dan di gua inilah, menurut cerita Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya bersembunyi dari kejaran Belanda untuk sementara waktu," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (22/9/2021).

Jika dilihat sekilas, nampak mulut gua tersebut berukuran sangat kecil.

"Namun, menurut orang yang memiliki kemampuan lebih, di sebelah kanan itu ada ruangan yang cukup luas, bahkan bisa muat 20 orang," jelasnya.

Gua tersebut juga terkenal sebagai gua yang bisa dimasuki orang satu kampung, meski ukurannya sangat kecil.

Satu kampung yang dimaksud, bukan kampung yang ada di jaman era modern saat ini, yang penduduknya bisa mencapai ratusan orang.

Namun, di zaman penjajahan Belanda, dalam satu kampung biasanya hanya dihuni 20-30 orang saja.

Menurut Jumali, di dalamnya juga terdapat ukiran bergambar wayang di dinding gua.

"Selain itu, didalam juga ada ukiran bergambar wayang, dan katanya juga ada 2 arca didalamnya," tambahnya.

Untuk membuktikan kebenarannya, pemerintah Desa Gebang belum berani melakukan penggalian gua tersebut.

"Kita masih menggali sejarahnya dulu, jika kita lakukan penggalian diatasnya itu kan akar pohon, takutnya nanti malah rusak," terangnya.

Baca juga: Sederet Fakta Temuan Kerangka Manusia Seperti Bersila di Pantai Parangkusumo, Pakai Celana Olahraga

Oleh masyarakat sekitar, gua tersebut selama ini hanya dibersihkan saja dari daun-daun yang berjatuhan.

Sesekali, juga ada beberapa orang yang bertapa di gua tersebut, sebagai usaha agar mendapatkan pekerjaan. 

Jejak Mangkubumi

Tidak hanya Surakarta dan Yogyakarta saja, ternyata Kabupaten Sragen dulunya juga pernah ada bangunan keraton.

Informasi yang dihimpun TribunSolo.com, jika keraton di Sragen disebut sebagai Keraton Ing Alaga.

Keraron tersebut yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang saat ini dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I saat bergerilya melawan penjajah Belanda.

Keraton Ing Alaga terletak di Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar.

Dulunya, keraton tersebut berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 5 hektar, di mana kini warga desa setempat menyebutnya sebagai tanah keraton.

Baca juga: Wisata Religi Boyolali : Makam Syech Maulana Ibrahim di Kaki Gunung Merbabu

Baca juga: Di Daerah Sragen ini, Warga Percaya Dengarkan Lagu Sinden Bisa Bikin Terjebak di Dunia Lain

Saat ini, tanah keraton di Dukuh Tawang sudah berubah menjadi lahan pertanian dan membentuk cekungan, karena pernah digunakan sebagai tambang galian C.

Sudah tidak ditemukan bekas bangunan keraton di sana, namun sesekali petani dan warga sekitar menemukan bata raksasa berwarna merah yang diyakini bangunan keraton.

Perangkat Desa Kandangsapi, Komar mengatakan keraton tersebut diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 1745, ketika Pangeran Mangkubumi keluar dari Kerajaan Surakarta untuk melawan penjajah Belanda.

"Dalam perjalanannya, Pangeran Mangkubumi terlebih dahulu singgah di Pandak Karangnongko, di sana cikal bakal berdirinya Kabupaten Sragen," ujarnya kepada TribunSolo.com, Rabu (15/9/2021).

Karena Dukuh Pandak Karangnongko dekat dengan jalur lintas provinsi Belanda, akhirnya Pangeran Mangkubumi pindah ke arah utara dan bertemu dengan Kiai Srenggi, mantan panglima Kerajaan Kartasura.

Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan, Pangeran Mangkubumi sampailah di sebuah tempat, yang merupakan pertemuan dua sungai, yakni Sungai Sawur dan Bengawan Solo.

"Dan di sinilah, Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Pangeran Mangkubumi mendirikan bangunan keraton sementara," singkatnya.

Di keraton tersebut merupakan tempat bertemunya 27 tokoh penting, yang mendukung Pangeran Mangkubumi untuk berperang melawan penjajah Belanda.

Keraton di Dukuh Tawang itu, digunakan sebagai tempat mengumpulkan kekuatan dan membuat strategi untuk melawan penjajah Belanda.

Saat masih berada di Desa Kandangsapi, Raja Pakubuwana II dikabarkan sakit, dan Pangeran Mangkubumi didesak pasukannya untuk menjadi raja, namun menolak.

Sampai akhirnya Raja Pakubuwana II meninggal dunia, yang kemudian sang anak, diangkat menjadi Raja Pakubuwana III oleh Belanda.

"Pangeran Mangkubumi yang ada di sini, itu mendengar kakaknya meninggal, kemudian dia diangkat oleh pasukannya di sini sebagai Raja Pakubuwana III Susuhunan Kabanaran, atau Sunan Kabanaran yang diabadikan dalam prasasti Prabegan," jelasnya.

Setelah kurang lebih satu hingga dua tahun Pangeran Mangkubumi berada di Dukuh Tawang, kemudian gerilya dilanjutkan ke Desa Jekawal, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen.

Dalam pelariannya dari Keraton Surakarta, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya terus berperang melawan Belanda.

Baca juga: Patung Raja Keraton Solo Setinggi 4 Meter Berdiri di Boyolali, Ini Cerita Mengapa Dibangun di Sana

Baca juga: Pertama di Indonesia, Patung Raja Keraton PB VI Berukuran Raksasa Berdiri di Selo, Bukan di Solo

Kemudian, besarnya kekuatan Pangeran Mangkubumi membuat penjajah Belanda kewalahan, yang kemudian Belanda menyodorkan perjanjian damai.

Perjanjian tersebut diterima oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian wilayah Surakarta dipecah menjadi dua, yang saat ini disebut sebagai Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.

Pangeran Mangkubumi memegang kekuasaan di Keraton Yogyakarta, dengan Gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedangkan Raja Pakubuwana III tetap memegang kekuasaan Keraton Surakarta.

Menurut Komar, Sultan Hamengkubuwana IX pernah berkunjung ke Desa Kandangsapi, untuk melihat tapak tilas, perjuangan pendahulunya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved