Berita Boyolali Terbaru
Kejadian Aneh di Makam Prajurit Pangeran Sambernyawa : Lampu Tak Bisa Hidup, Kerbau Tiba-tiba Lumpuh
Makam kuno nan keramat di Dukuh Krisik, Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali memiliki banyak cerita di luar nalar.
Penulis: Tri Widodo | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo
TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Makam kuno nan keramat di Dukuh Krisik, Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali memiliki banyak cerita di luar nalar.
Adapun makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir ulama dan kesatria Pura Mangkunegaran Solo.
Makam yang berada diatas bukit itu kian seram oleh rimbunnya pepohonan yang memayungi makam Ki Singoprono III dan VI hingga ibu mertua Raja Solo PB VI Raden Ayu Tasik Wulan ini.
Salah satu tokoh masyarakat, Eko Adi Prasongko mengatakan, kompleks pemakaman yang sudah ada sejak tahun 1.800.
Di makam tersebut dimakamkam para prajurit Pangeran Sambernyawa.
Baca juga: Habis ke Kawasan Pabrik Jokowi, Teten ke Mall Andalan Presiden saat Momong Jan Ethes, Ada Apa?
Baca juga: Viral Nobar Persis Vs AHHA PS Pati di Cafe yang Diduga di Solo, Begini Reaksi Wali Kota Gibran
Makam yang berada di ujung hutan jati itu terlihat cukup terkesan seram.
Lalu saat akan memasuki area makam banyak pohon Kamboja lapuk yang sudah tumbang dibiarkan mengering lalu jatuh membaur dengan tanah.
Pohon itu berada di luar tembok makam ada diatas salah satu makam itu memang dibiarkan begitu saja.
Pasalnya tidak ada yang berani mengambil pohon batang sedikit pun dari areal makam tersebut.
Warga meyakini bakal terjadi masalah dalam tubuh usai nengambil batang pohon di kawasan kompleks makam ini.
"Pernah ada yang menebang pohon tepat di atas makam ini, tapi malam harinya dihantui sesosok laki-laki bertubuh besar," ujar dia kepada TribunSolo.com, Selasa (28/9/2021).
Tak hanya bagi manusia, pantangan di makam keramat itu juga berlaku bagi binatang.
"Kan warga sini dulu banyak yang memelihara kerbau. Jadi beberapa kali pernah ada yang makan rumput di sini pasti langsung lumpuh dan buta," ucapnya.
Dia mengaku sebagai warga yang tinggal di sekitar makam bukannya sengaja membiarkan makam ini gelap gulita saat malam hari karena tidak ada penerangannya.
Menurutnya, setiap kali dipasangi lampu, tidak akan menyala dalam waktu lama dan pernah tiba-tiba sudah terlempar jauh.
"Jadi ya kalau malam gelap banget di sini," ujarnya.
Baca juga: Inilah Sumardi, Sosok Penting yang Selama Ini Pasok Mebel ke Pabrik Milik Jokowi di Kalijambe Sragen
Baca juga: Sisi Lain Makam Ki Ageng Balak Sukoharjo : Banyak Peziarah yang Minta Bisa Lepas dari Jeratan Hukum
Makam Balak
Makam kuno Ki Ageng Balak yang berada di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo dikenal fenomenal.
Ada saja orang atau peziarah yang meminta sesuatu sehingga disangkut-sangkutkan dengan sosok Ki Ageng Balak.
Ya, Ki Ageng Balak yang memiliki nama asli Raden Sujono dikenal sebagai putra Prabu Brawijaya , raja terakhir Kerajaan Majapahit kala itu.
Raden Sujono disebutkan dalam berbagai literatur, sebagai pradot agung (hakim) yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum di Majapahit.

Baca juga: Biodata Agung Supardi : Sebelum Sukses Jadi Anggota DPRD Boyolali,Pernah Jadi Guru di Sekolah Swasta
Baca juga: Dulu Kirab Keliling Kampung, Sekarang Pulung Langse di Makam Balakan Sukoharjo Dilakukan Tertutup
Juru kunci makam Ki Ageng Balak, Slamet membenarkan, jika sosok Raden Sujono merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit.
"Beliau sampai ke sini itu untuk mengembara, dan menimba ilmu," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (27/9/2021).
Hingga akhirnya, Ki Ageng Balak dan dimakamkan di Desa Mertan yang dahulunya masih hutan lebat.
Sampai akhir hayatnya, Ki Ageng Balak ditemani dua pengawalnya, yakni Tumenggung Simbarjo, dan Tumenggung Simbarjoyo.
Raden Sujono sendiri dikenal sebagai sosok yang bijaksana, serta menguasai berbagai ilmu.
Oleh karenanya, mitor dari pezairah, jika mendatangi makam Raden Sujono diyakini mampu memberikan tuah yang tinggi.
"Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang berziarah, tapi biasanya yang ramai itu saat malam jumat, apalagi malam jumat kliwon," ujarnya.
Terdapat mitos, jika banyak peziarah yang datang ke sini dengan keinginan untuk bisa lepas dari kasus hukum yang sedang dihadapi.
Termasuk meminta kemudahan rejeki, agar ekonomi mereka lancar.
Slamet menuturkan, hal tersebut kembali kepada niat masing-masing peziarah.
"Tapi jangan salah paham. Berziarah itu mendoakan sesuai agama masing-masing. Tapi untuk memohon itu tetap kepada yang maha kuasa," ujarnya.
Baca juga: Situs Gua Mangkubumi di Sragen Jadi Tempat Wisata, Tapi Terbentur Dana, Warga Berharap Ada Investor
Para peziarah tak hanya datang dari Sukoharjo saja. Namun juga berbagai kota besar di Indonesia.
Tak jarang, para peziarah tidur di pendopo yang berada di dekat makam Ki Ageng Balak.
Namun karena pandemi Covid-19, jumlah peziarah yang datang semakin berkurang.
"Soalnya Pemkab Sukoharjo masih menutup lokasi wisata," jelasnya. (*)
Acara Khusus Kirab
Ada acara khusus saat malam 1 suro di Makam Balakan di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Sukoharjo.
Nama acara disebut Pulung Langse, yang memiliki arti mengganti penutup kain pusara.
Menurut juru kunci makam, Slamet, kain Makam Ki Ageng Balak diganti setahun sekali saat malam 1 suro.
Baca juga: Eks Napiter Gelar Upacara Bendera di Gunung Sepikul Sukoharjo: Bacakan Teks Proklamasi
Baca juga: Warga Glagahwangi Klaten Hentikan Gotong Royong, Pilih Upacara Dulu,Peringati Detik-detik Proklamasi
"Jadi penutup kain yang lama dijamasi (dicuci) di sungai, lalu diganti yang baru," katanya, Senin (27/9/2021).
Slamet mengatakan, acara Pulung Langse ini dulunya diadakan dengan melakukan kirab keliling desa.
Lalu juru kunci ikut kirab keliling desa dengan menaiki kuda. Gunungan juga disiapkan dalam kirab tersebut.
Baca juga: Indah Sari Sebut Saipul Jamil Dapat Job dari Kementerian: Saking Padatnya Kita Mencoba Liburan Dulu
"Dulu waktu saya kecil, Pulung Langse itu seperti kirab di keraton," ujarnya.
Sebelum pandemi Covid-19, acara Pulung Langse kemudian dibuat lebih sederhana. Hanya melakukan acara di areal makam saja.
Namun, selama pandemi Covid-19 ini, acara tersebut dilakukan tertutup oleh para juru kunci saja.
Baca juga: Komunitas Ini Bongkar Catatan, Klaim Ada Ratusan Batu Diduga Benda Cagar Budaya di Klaten
"Saat corona ini, hanya dijamasi lalu diganti yang baru. Lalu acara tahlilan saja," ujarnya.
Padahal kain Langse ini diperebutkan para peziarah.
Mereka meyakini bahwa langse tersebut memberikan tuah.
Tak jarang, Langse ini dijadikan sebagai sapu tangan bagi peziarah yang mendapatkan kain tersebut.
Selain itu, para peziarah juga sering melakukan ritual nadzar bertepatan dalam momentum 1 suro ini. (*)