Berita Wonogiri Terbaru
Pandemi, Pantai Sembukan Wonogiri Diburu Pengunjung untuk Ritual, Ramai saat Selasa & Kamis Kliwon
Pantai Sembukan dengan pasir putihnya yang berada di Desa/Kecamatan Paranggupit, Kabupaten Wonogiri ternyata tak hanya untuk liburan.
Penulis: Erlangga Bima Sakti | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Erlangga Bima Sakti
TRIBUNSOLO.COM, WONOGIRI - Pantai Sembukan dengan pasir putihnya yang berada di Desa/Kecamatan Paranggupit, Kabupaten Wonogiri ternyata tak hanya untuk liburan.
Selama pandemi, pantai nan cantik yang masih tampak 'perawan' itu menjadi lokasi perburuan spiritual bagi banyak orang.
Informasi yang didapatkan TribunSolo.com, pengunjung yang datang pada waktu-waktu tertentu yakni Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon disebut melakukan ritual yang diyakininya.
Pelaksana tugas (Plt) Camat Paranggupito, Warno, menyebut bahwa di pantai yang berada di wilayahnya itu masih banyak dikunjungi masyarakat saat hari-hari tertentu.
Baca juga: Sisi Lain Makam Ki Ageng Balak Sukoharjo : Banyak Peziarah yang Minta Bisa Lepas dari Jeratan Hukum
Baca juga: Arisan Online Bawa Petaka, Pria di Wonogiri Ditusuk Pisau Dapur, Pelaku Emosi Merasa Dibohongi
Banyak wisatawan yang nekat masuk dengan alasan spiritual.
"Kalau Sembukan itu lebih ke pantai ritual, mereka (orang yang melakukan ritual) nekat masuk," ungkap dia kepada TribunSolo.com, Selasa (28/9/2021).
"Sepeda mereka ditinggal di depan portal, lalu masuk ke pantai dengan berjalan kaki," kata dia.
Warno mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki kepercayaan itu melakukan ritual pada malam-malam khusus.
Biasanya, kata dia, orang-orang itu datang pada malam Selasa kliwon dan malam Jumat kliwon.
Selain itu, pada peringatan malam satu suro sejumlah ritual juga masih dilakukan di sana.
Orang-orang yang memiliki kepercayaan khusus itu melakukan ritual pada titik-titik khusus di Pantai Sembukan, sesuai kemantapan hati masing-masing.
"Paling mereka membutuhkan waktu untuk ritual tidak lama, sekitar 30 menit hingga 2 jam, setelah selesai ya pulang," ujarnya.
Sementara itu, untuk pengunjung yang ingin memanfaatkan Pantai Sembukan untuk berwisata tidak banyak, sehingga tak banyak juga yang kecele.
Beda dengan Sembukan, Pantai Nampu yang sering digunakan untuk refreshing, sejak ditutup karena PPKM memang masih sepi.
"Kalau tidak ditutup, Sabtu dan Minggu itu ramai wisatawan liburan, di Sembukan ditutup atau tidak ya pengunjungnya ada," kata dia.
Ziarah Makam Ki Ageng Balak
Makam kuno Ki Ageng Balak yang berada di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo dikenal fenomenal.
Ada saja orang atau peziarah yang meminta sesuatu sehingga disangkut-sangkutkan dengan sosok Ki Ageng Balak.
Ya, Ki Ageng Balak yang memiliki nama asli Raden Sujono dikenal sebagai putra Prabu Brawijaya , raja terakhir Kerajaan Majapahit kala itu.
Raden Sujono disebutkan dalam berbagai literatur, sebagai pradot agung (hakim) yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum di Majapahit.

Baca juga: Biodata Agung Supardi : Sebelum Sukses Jadi Anggota DPRD Boyolali,Pernah Jadi Guru di Sekolah Swasta
Baca juga: Dulu Kirab Keliling Kampung, Sekarang Pulung Langse di Makam Balakan Sukoharjo Dilakukan Tertutup
Juru kunci makam Ki Ageng Balak, Slamet membenarkan, jika sosok Raden Sujono merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit.
"Beliau sampai ke sini itu untuk mengembara, dan menimba ilmu," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (27/9/2021).
Hingga akhirnya, Ki Ageng Balak dan dimakamkan di Desa Mertan yang dahulunya masih hutan lebat.
Sampai akhir hayatnya, Ki Ageng Balak ditemani dua pengawalnya, yakni Tumenggung Simbarjo, dan Tumenggung Simbarjoyo.
Raden Sujono sendiri dikenal sebagai sosok yang bijaksana, serta menguasai berbagai ilmu.
Oleh karenanya, mitor dari pezairah, jika mendatangi makam Raden Sujono diyakini mampu memberikan tuah yang tinggi.
"Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang berziarah, tapi biasanya yang ramai itu saat malam jumat, apalagi malam jumat kliwon," ujarnya.
Terdapat mitos, jika banyak peziarah yang datang ke sini dengan keinginan untuk bisa lepas dari kasus hukum yang sedang dihadapi.
Termasuk meminta kemudahan rejeki, agar ekonomi mereka lancar.
Slamet menuturkan, hal tersebut kembali kepada niat masing-masing peziarah.
"Tapi jangan salah paham. Berziarah itu mendoakan sesuai agama masing-masing. Tapi untuk memohon itu tetap kepada yang maha kuasa," ujarnya.
Baca juga: Situs Gua Mangkubumi di Sragen Jadi Tempat Wisata, Tapi Terbentur Dana, Warga Berharap Ada Investor
Para peziarah tak hanya datang dari Sukoharjo saja. Namun juga berbagai kota besar di Indonesia.
Tak jarang, para peziarah tidur di pendopo yang berada di dekat makam Ki Ageng Balak.
Namun karena pandemi Covid-19, jumlah peziarah yang datang semakin berkurang.
"Soalnya Pemkab Sukoharjo masih menutup lokasi wisata," jelasnya. (*)
Acara Khusus Kirab
Ada acara khusus saat malam 1 suro di Makam Balakan di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Sukoharjo.
Nama acara disebut Pulung Langse, yang memiliki arti mengganti penutup kain pusara.
Menurut juru kunci makam, Slamet, kain Makam Ki Ageng Balak diganti setahun sekali saat malam 1 suro.
Baca juga: Eks Napiter Gelar Upacara Bendera di Gunung Sepikul Sukoharjo: Bacakan Teks Proklamasi
Baca juga: Warga Glagahwangi Klaten Hentikan Gotong Royong, Pilih Upacara Dulu,Peringati Detik-detik Proklamasi
"Jadi penutup kain yang lama dijamasi (dicuci) di sungai, lalu diganti yang baru," katanya, Senin (27/9/2021).
Slamet mengatakan, acara Pulung Langse ini dulunya diadakan dengan melakukan kirab keliling desa.
Lalu juru kunci ikut kirab keliling desa dengan menaiki kuda. Gunungan juga disiapkan dalam kirab tersebut.
Baca juga: Indah Sari Sebut Saipul Jamil Dapat Job dari Kementerian: Saking Padatnya Kita Mencoba Liburan Dulu
"Dulu waktu saya kecil, Pulung Langse itu seperti kirab di keraton," ujarnya.
Sebelum pandemi Covid-19, acara Pulung Langse kemudian dibuat lebih sederhana. Hanya melakukan acara di areal makam saja.
Namun, selama pandemi Covid-19 ini, acara tersebut dilakukan tertutup oleh para juru kunci saja.
Baca juga: Komunitas Ini Bongkar Catatan, Klaim Ada Ratusan Batu Diduga Benda Cagar Budaya di Klaten
"Saat corona ini, hanya dijamasi lalu diganti yang baru. Lalu acara tahlilan saja," ujarnya.
Padahal kain Langse ini diperebutkan para peziarah.
Mereka meyakini bahwa langse tersebut memberikan tuah.
Tak jarang, Langse ini dijadikan sebagai sapu tangan bagi peziarah yang mendapatkan kain tersebut.
Selain itu, para peziarah juga sering melakukan ritual nadzar bertepatan dalam momentum 1 suro ini. (*)