Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Keramatnya Sendang di Turi Sragen, Pernah Ada yang Tak Selamatan Sebelum Acara,Sejumlah Warga Celaka

Ada sebuah tradisi unik di Kampung Turi, Kelurahan Sine, Kecamatan/Kabupaten Sragen yang masih ada hingga kini.

Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com
Ilustrasi : Tradisi bancaan atau selamatan sebelum menggelar acara. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Ada sebuah tradisi unik di Kampung Turi, Kelurahan Sine, Kecamatan/Kabupaten Sragen yang masih ada hingga kini.

Warga yang hendak gelar hajatan, harus melakukan bancaan atau sedekah di Sendang Joko Mulyo Pitutur, yang ada di salah satu sudut kampung.

Sesepuh kampung Turi, Ngadiman (75) mengatakan bancaan dalam tradisi Jawa berarti memberi tahu jika akan melangsungkan hajatan.

"Bancaan sebenarnya berasal dari kata bacaan, atau siaran, apa yang menjadi keinginannya, diberi tahu ke Joko Mulyo Pitutur, niscaya akan dikabulkan," ujarnya kepada TribunSolo.com, Senin (22/11/2021).

Baca juga: Sejarah Dukuh Turi di Sragen, Tempo Dulu Masih Rawa-rawa, Bahkan Ada Larangan Warga Membuat Sumur

Baca juga: Sejarah Sendang Joko Mulyo Pitutur di Turi Sragen, Awalnya Hanya Kubangan: Air Tidak Pernah Kering 

Tradisi itu sudah ada sejak pertama kali ditemukannya sendang Joko Mulyo Pitutur yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

Waktu itu, akses menuju sendang sulit karena belum ada jalan dan akses satu satunya hanya sungai besar.

Sedangkan kedua mempelai wajib datang ke sendang tersebut, dengan menaiki kuda.

Sesampainya di Sendang Joko Mulyo Pitutur, kedua pengantin melakukan ritual mensucikan diri, sembari memberitahukan jika akan menikah.

Yang punya hajat, juga diwajibkan untuk mengambil air dari sendang itu, untuk keberlangsungan acara.

"Orang yang punya hajatan, kalau tidak memberi penghormatan di sendang, akan ada sesuatu, seperti masak nasi dan air tidak matang," terangnya.

"Kadang orang yang lewat di depan hajatan, ada yang kecelakaan, ada orang Turirejo, gara-gara tidak bancaan, enam orang masuk rumah sakit," tambahnya.

Sendang Joko Mulyo Joko Pitutur terletak di sudut Kampung Turi, berdekatan dengan area persawahan.

Lokasi sendang berada ditengah pohon-pohon tua, yang usianya puluhan hingga ratusan tahun.

Sendang tersebut, hingga kini masih mengeluarkan air dari dalam tanah, dan masih digunakan warga sebagai media menyembuhkan penyakit.

Tak hanya sampai disitu, siapa pun orang yang datang ke Sendang Joko Pitutur, dilarang untuk membawa pulang kayu dari area sendang.

Diketahui, terdapat beberapa jenis pohon di sendang tersebut, seperti pohon asem hingga pohon beringin.

Baca juga: Cerita Aneh Pemandian Air Panas PB X di Langenharjo : Dibor Lagi Mesin Meledak, Padahal Sudah Ritual

Baca juga: Ada 16 Motor Diamankan Polisi di Klaten : Pakai Knalpot Brong, Meresahkan Masyarakat 

Siapapun tak berani mengambil, pastinya bagi yang nekat membawa pulang akan terkena marabahaya.

"Larangannya hanya satu, tidak boleh membawa pulang kayu dari sana, jika dibakar di situ masih boleh," jelasnya.

Ada satu patahan kayu di sudut lokasi sendang, yang sudah tertancap puluhan tahun, namun tidak keropos dan masih utuh hingga sekarang.

Sejarah Dukuh Turi

Cerita aneh diyakini secara turun temurun di Dukuh Turi, Kelurahan Sine, Kecamatan/Kabupaten Sragen.

Apa itu? Cerita itu yakni warga dilarang membuat sumur yang sudah ada sejak dulu hingga kini.

Suasana Kampung Turi saat ini hampir padat dengan perumahan warga, lantaran lokasinya yang strategis berada di pinggir jalan ramai.

Juga masih ada area persawahan yang tersisa milik warga yang masih dikelola hingga kini.

Sesepuh Kampung Turi, Ngadiman (75) mengatakan, ditilik dari peta buatan Belanda, waktu itu Kampung Turi masih berbentuk rawa-rawa.

Perkembangan jaman, rawa-rawa itu diubah menjadi persawahan karena mulai didatangi orang.

Satu persatu warga berdatangan ke Kampung Turi, yang kemudian bekerja sebagai petani, untuk mengolah sawah.

Saat ini, mata pencaharian warga beraneka ragam, mulai dari petani hingga ASN.

Dia mengatakan nama Turi diambil dari nama sendang yang ada di kampungnya itu.

"Di sini ada sendang Joko Mulyo Pitutur, di mana sosok Joko Mulyo Pitutur orang yang suka menuturi, turi, atau memberi nasihat," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (22/11/2021).

"Dari situlah diperkirakan nama Turi berasal," jelas dia.

Baca juga: Sejarah Sendang Joko Mulyo Pitutur di Turi Sragen, Awalnya Hanya Kubangan: Air Tidak Pernah Kering 

Baca juga: Kabar Baik,Warga Wonogiri Tak Perlu Lagi Bawa Surat Tes Antigen saat Bikin e-KTP, Tapi Ada Syaratnya

Joko Mulyo Pitutur merupakan seseorang yang diyakini masih masuk ke dalam keluarga keraton.

Joko Mulyo Pitutur menghadiahkan sumber mata air kepada salah satu warga desa, karena berhasil membebaskannya dari hukuman.

Ia dihukum karena telah berbuat dosa, yang mana saat bertapa dia terjepit tanah, hingga ratusan tahun.

Sumber air tersebut diperkirakan dibangun sejak jaman penjajahan Belanda, yang airnya masih ada hingga kini.

Dulu, ibu-ibu warga Turi berbondong-bondong mengambil air dari sendang itu dengan menggunakan wadah semacam kendi.

Oleh warga sekampung, air tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga, mulai dari mencuci, memasak, hingga untuk minum.

Joko Mulyo Pitutur juga berpesan, agar warga dilarang untuk membuat sumur sendiri.

"Pesannya jika sumber air ini masih terus mengalir, jangan ada warga yang membuat sumur sendiri," jelasnya.

"Kenapa tidak boleh, karena nanti berkahnya beda," tambahnya.

Menurut legenda, air dari sendang Joko Mulyo Pitutur dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

"Jika sakit, hanya perlu meminum air dari sini, yang sudah diberi bunga setaman, tidak usah mencari dokter, karena memang dokter waktu itu sulit mencarinya," jelasnya.

Mungkin, jika ada warga yang membuat sumur sendiri, maka kemampuan air yang bisa menyembuhkan penyakit orang dapat berkurang.

Baca juga: Cerita Aneh di Lintasan Jetak Sragen yang Berkali-kali Bikin Celaka : Sering Muncul Bayangan Hitam

Namun, seiring perkembangan waktu, semakin banyak orang yang menempati kampung itu.

Satu persatu rumah dibangun, dan warga mulai membuat sumur di rumah masing-masing.

"Karena sumber airnya sudah tidak cukup lagi untuk seluruh warga kampung, makanya warga membuat sumur sendiri," ucapnya.

"Masih ada warga yang percaya, baru bikin sumur setelah generasi keempat ini, baru-baru saja, karena masih susah mencari sumber airnya," pungkasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved