Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Solo Terbaru

Terapi 'Cuci Otak' Terawan Masih Beroperasi di RS DKT, IDI Solo : Itu Ranah Pengurus Besar IDI Pusat

Ternyata program cuci otak disebut-sebut masih beroperasi di Rumah Sakit TNI (RST) Slamet Riyadi alias RS DKT Solo.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya | Editor: Asep Abdullah Rowi
Tribunnews.com/Jeprima
Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Terawan Agus Putranto 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Terawan Agus Putranto dipecat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Polemik muncul usai metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau 'cuci otak' yang diperkenalkan Terawan .

Ternyata program itu disebut-sebut masih beroperasi di Rumah Sakit TNI (RST) Slamet Riyadi alias RS DKT Solo, Jawa Tengah.

Dikonfirmasi hal itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo dr. M. Eko Irawanto Sp. KK mengatakan pihaknya tak bisa berkomentar banyak.

Sebab polemik itu merupakan ranah Pengurus Besar IDI (PB IDI) Pusat, IDI Solo sendiri tak mengikuti proses persidangan dr. Terawan sedari awal.

"Kalau itu memang ranah PB IDI, karena dari awal kita tidak mengikuti proses persidangan yang berkaitan dengan beliau," ujar Eko, kepada TribunSolo.com, Selasa (29/3/2022).

"Jadi dari awal seperti apa, keputusan seperti apa, nah info itu yang memiliki PB IDI di Jakarta sana," tambahnya.

Selain itu, dia memaparkan akan lebih tepat menanyakan apakah masih beroperasinya metode DSA tersebut menyalahi aturan atau tidak kepada persatuan dokter radiologi.

Baca juga: Rekomendasi Pemecatan IDI Keluar, Ini Posisi Terawan di RS DKT Solo, Danrem : Hanya Supervisi

Baca juga: Danrem Sebut Terapi Cuci Otak Terawan di RS DKT Solo Tak Pernah Dikomplain, Belum Ada Perintah Tutup

Karena kompetensi mengenai metode dan tindakan dr. Terawan itu disebutnya harus disepakati dahulu oleh persatuan tersebut.

"Yang mengetahui seluruhnya adalah persatuan dokter radiologi, nah d isitu ada atau tidak dulu," aku dia.

"Kalau misalnya itu sudah ada, berarti dr. Terawan mestinya bisa melakukan, berarti kompeten," jelasnya.

Apabila belum ada kesepakatan soal tindakan yang bersangkutan, dikhawatirkan hal tersebut bakal menjadi polemik.

"Karena ketika seseorang itu melakukan tindakan yang tindakannya tersebut belum disepakati secara teoritis dan kompentensinya nah itu pasti jadi preseden," kata Eko.

"Artinya tindakan itu belum bisa dikatakan kompetensi karena memang tidak ada di aturan organisasi. Nah ini yang jadi kasus ini bisa jadi diranah itu," jelas dia.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved