Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Boyolali Terbaru

Penyebab Harga Telur Meroket di Boyolali Saat Bulan Suro : Populasi Ayam Petelur Berkurang 40 Persen

Terjawab sudah mengapa harga telur ayam meroket di Boyolali saat bulan Suro. Populasi ayam petelur yang berkurang ditengarai jadi penyebabnya

TribunSolo.com/Tri Widodo
Ilustrasi Peternakan Ayam petelur di Boyolali. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Harga telur ayam di pasaran belakangan ini melambung tinggi.

Di Boyolali, harga telur sampai tembus hingga Rp30 ribu per kilogram.

Tukinu, pengurus paguyuban peternak telur Boyolali menyebut kenaikan harga telur di bulan Suro (bulan Jawa) ini terbilang aneh.

Sebab, masyarakat pada dasarnya minim permintaan.

Baca juga: Promo Kemerdekaan di Oase Park Boyolali: Lahir Tanggal 17 Agustus Free, 4 Orang Cuma Bayar Rp77 Ribu

Baca juga: Di Tengah Kemeriahan Peringatan HUT ke-77 RI, Harga Telur di Sragen Tembus Rp 29 Ribu per Kg 

Tak banyak masyarakat yang menggelar hajatan, sehingga seharusnya menjadikan harga telur ayam ini rendah.

"Iya beberapa hari ini harga telur malah naik. Padahal ini masih bulan Suro," katanya, kepada TribunSolo.com, Kamis (18/8/2022).

Dia pun menduga naiknya harga telur ayam ini disebabkan populasi ayam berkurang banyak akibat badai Corona tahun lalu.

"Di Winong (Boyolali Kota), populasi ayamnya berkurang antara 30-40 persen. Saya kira dimana-mana juga sama. Populasi ayam (Layer) berkurang banyak karena hantaman pandemi Covid-19,” jelasnya.

Kala itu, setiap hari peternak harus nombok untuk menutup biaya pakan lantaran harga telur hanya berkisar Rp 14-15 ribu per kg.

Padahal, peternak baru bisa Break Even Poin (BEP) jika harga telur per kilogramnya itu Rp 21.600.

Baca juga: Siap-siap Lur, Harga Daging dan Telur Diprediksi Segera Naik, Imbas India Larang Ekspor Gandum

Baca juga: Beda Nasib Warga Binaan di Rutan Kelas IIB Boyolali: 81 Dapat Remisi, Puluhan Terganjal Administrasi

Sehingga jika produksi telurnya banyak, otomatis kerugian yang diderita peternak juga semakin besar.

“Banyak peternak yang kemudian mengurangi populasinya. Bahkan ada yang sampai gulung tikar. Mengosongkan kandangnya,” jelasnya.

Karena memang, rendahnya harga telur ayam saat itu berlangsung cukup lama, hampir 1 tahun.

Dia yang juga punya 5.000-an ekor ayam petelur juga menderita kerugian besar.

Jika dihitung, kerugian yang dialami mencapai Rp 240-an juta.

“Ada juga yang rugi hingga, puluhan miliar. Tergantung jumlah ayamnya,” jelasnya.

Tak salah, jika peternak sulit mengembalikan populasi ayam petelur.

“Kalau dulu produksi telur dari Winong saja ini mencapai 50 ton per hari. Kalau sekarang ini tinggal 35-40 ton saja,” tambahnya. (*) 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved