Berita Solo Terbaru
Pandangan Sosiolog UNS Soal Latto-latto, Jadi Perekat Hubungan Sosial dan Jauhkan Anak dari Gadget
Pandangan sosiolog soal latto-latto ternyata bisa untuk menjauhkan anak dari gadget. Apalagi pemainan ini juga permainan nostalgia zaman dulu.
Penulis: Eka Fitriani | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Eka Fitriani
TRIBUNSOLO.COM, SOLO – Trend permainan latto-latto telah menjamur di berbagai kalangan masyarakat dari berbagai usia.
Tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa hingga tokoh publik juga ikut memainkan permainan ini.
Latto-latto atau yang dikenal di wilayah Jawa Tengah sebagai ‘etek-etek’ merupakan permainan yang dimainkan dengan cara membenturkan dua bola dari plastik polimer yang diikat menggunakan tali.
Permainan ini dinamai ‘etek-etek’ karena apabila dua bola plastik tersebut saling berbenturan akan menimbulkan bunyi ‘etek-etek’.
Latto-latto yang dimainkan secara langsung membuat adanya interaksi sosial satu sama lain.
Sosiolog UNS, Dr. Drajat Tri Kartono menuturkan bahwa munculnya kembali permainan ini memiliki fungsi perekat hubungan sosial.
“Sejak saya kecil sudah ada permainan ini, kalau dalam Sosiologi dinamakan reproduksi sosial. Sebelum masuknya dunia digital, hampir semua permainan seperti latto-latto, gobag sodor, petak umpet, dan semacamnya memerlukan beberapa orang karena tidak bisa bermain sendiri,” katanya, Rabu (11/1/2023) siang.
“Nah, hal ini yang memunculkan interaksi sosial sehingga dapat merekatkan kembali hubungan sosial dari seseorang dengan orang lain,” katanya.
Baca juga: Permainan Latto-latto Jadi Fenomena Baru, KPAI : Jangan Batasi Anak-anak Bermain, Tapi Awasi
Perekat Hubungan Sosial
Menariknya, tren latto-latto ini dimainkan oleh anak-anak yang lahir dan besar di zaman digital.
Meskipun anak-anak zaman sekarang sudah lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi, tetapi trend permainan latto-latto tetap digandrungi.
“Latto-latto ini memberikan kekuatan yang sama seperti zaman dulu saat belum ada permainan-permainan digital, yaitu sebagai perekat hubungan sosial,” katanya.
“Selain itu juga berfungsi untuk meningkatkan vitalitas sosial dan daya hidup karena memerlukan interaksi satu sama lain. Hebatnya, latto-latto ini muncul dan hadir kembali secara viral tapi tidak dalam basis digital,” katanya.
Sosiolog UNS tersebut juga menambahkan bahwa permainan ini memunculkan memori masa lalu dari para orang tua yang masa kecilnya tidak asing dengan permainan-permainan zaman dulu.
Hal ini menyulut habitualisasi terhadap permainan latto-latto sehingga lebih mudah untuk menghidupkannya.
“Tidak hanya anak-anak, tapi orang tua juga ikut bermain karena ini ada kaitannya dengan memori permainan zaman dulu yang memiliki ciri-ciri kolektivitas dan solidaritas tinggi,” katanya.
Hal tersebut dikarenakan, setiap bermain anak-anak pasti terus berkumpul dengan teman-teman sehingga mampu membangun ikatan solidaritas dalam pertemuan.
“Ini beberapa satu nilai sosial yang bisa diambil dari munculnya kembali latto-latto ini,” imbuhnya.
Tak hanya itu, permainan latto-latto akan lebih asyik jika dimainkan bersama-sama dan tentunya menjauhkan anak-anak dari gadget.
Terlebih anak-anak yang lahir dan besar di tengah pesatnya perkembangan teknologi secara tidak langsung akan mengenal teknologi (gadget) sejak kecil.
“Meskipun saat ini banyak permainan di gadget, tapi latto-latto bisa muncul kembali sebagai permainan yang dimainkan secara kolektif dan langsung,” katanya.
“Tentu, latto-latto dapat berperan dalam mengurangi intensitas penggunaan gadget pada anak-anak,” katanya.
Pesatnya media sosial juga turut berpengaruh terhadap viralnya latto-latto tersebut, melalui media sosial, segala hal dapat tersebar luas dengan cepat tanpa mengenal waktu.
Hal tersebut menyulut masyarakat masuk dalam Bandwagon Effect, yaitu jika ada seseorang yang tidak mengikuti tren atau suatu kegiatan, orang tersebut besar kemungkinan akan mendapat sanksi sosial seperti dikucilkan atau dianggap aneh oleh orang sekitar.
“Banyak yang bermain latto-latto kemudian di-share ke media sosial, ini dapat menimbulkan bandwagon effect,” katanya.
“Orang-orang dengan cepat akan ikut-ikutan sesuatu yang menjadi perhatian banyak orang, kalau tidak ikut maka seperti orang yang ketinggalan zaman,” katanya.
Sehingga, orang tersebut harus ikut tren agar bisa bergabung dengan perkumpulannya tersebut.
“Harus ikut agar saat diajak ngobrol dan semacamnya tentang hal tersebut bisa nyambung,” terangnya. (*)
Pasar Kabangan Dinilai Kurang Strategis Digabung dengan Pasar Jongke Solo Jateng, Ini Kata Pedagang |
![]() |
---|
Gibran Sebut Aduan Mahasiswa UNS ke Dirinya Salah Alamat, Minta Langsung ke Menteri Pendidikan |
![]() |
---|
Gibran Geber Pengerjaan 2 Lapangan Blulukan dan Stadion UNS Jelang Piala Dunia U-17 |
![]() |
---|
Tempuh Rute 113,7 Km, Ganjar Harap Peserta Tour de De Borobudur Nikmati Wisata yang Tersaji |
![]() |
---|
Gibran Lagi di Korea Selatan, tapi Diminta Presentasikan Pengentasan Kemiskinan dalam Rakernas PDIP |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.