Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Polisi Tembak Polisi

Arif Rachman Ungkit Sandiwara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat Kejadian, Merasa Dijebak

Saat itu Ferdy Sambo dan Putri mengondisikan suasana dengan rasa simpati sehingga ada kejanggalan saat kejadian tewasnya Brigadir J.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Arif Rachman Arifin tiba untuk menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (19/10/2022). 

TRIBUNSOLO.COM - Terdakwa AKBP Arif Rachman menyebut dirinya merasa sedang dikondisikan oleh Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat kejadian penembakan yang menewaskan Brigadir Yosua.

Saat itu Ferdy Sambo dan Putri mengondisikan suasana dengan rasa simpati sehingga ada kejanggalan saat kejadian tewasnya Brigadir J.

Baca juga: Raut Sambo dan Putri saat Cerita Pelecehan Membuat Arif Rahman Berempati: Saya Seperti Terkondisikan

Ia menyebut Sambo dan Putri terus menangis dan terpukul dengan kejadian yang menimpa Putri.

Hal tersebut disampaikan Arif pada nota pembelaan atau pledoi pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (3/2/2023).

"Nota pembelaan pribadi kami awali dari penyalahgunaan keadaan oleh atasan kepada kami, sehingga menyebabkan dilema moral," ujar Arif di ruang sidang.

Arif menjelaskan, momen saat Sambo dan Putri menangis ketika sedang bercerita bahwa Putri diduga diperkosa oleh Brigadir J membuat dirinya timbul rasa empati yang besar.

"Cerita yang disampaikan oleh pimpinan saya saat itu, ditambah dengan apa yang saya lihat dari bapak FS dan ibu PC menangis sedih, jujur membuat perasaan saya yang timbul adalah rasa empati yang besar dari dalam diri saya kepada beliau," tutur Arif.

"Saya seperti terkondisikan oleh rasa empati, sehingga tidak ada pemikiran janggal saat itu. Terlebih, dari tampilan raut muka bapak FS dan ibu PC sangat sedih dan terpukul oleh kejadian yang menimpa ibu," sambung Arif.

Selain itu, kata Arif, emosi yang ditampilkan Sambo kerap tidak stabil.

Sebab, kepribadian Sambo tiba-tiba bisa menjadi kasar dan melontarkan ancaman yang membuat Arif tegang.

"Keadaan demikian yang muncul dalam setiap kontemplasi saya antara logika, nurani, dan takut bercampur. Sungguh tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang 'menolak perintah atasan'," katanya.

Dia lantas menyinggung budaya komando yang mengakar di Polri, sehingga batasan antara bawahan dan atasan itu terasa nyata.

Arif menyebut hubungan yang berjenjang di tubuh Polri itu sebagai relasi kuasa.

"Pola ini yang kadang gugurkan penyalahgunaan keadaan oleh atasan terhadap bawahan. Kondisi rentan penyalahgunaan keadaan ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami semua orang," imbuh Arif.

Baca juga: Arif Rahman Minta Dibebaskan, Anaknya Sakit Hemofilia Tipe A, Sementara Istri Tidak Kerja

Diketahui, jaksa menuntut mantan AKBP Arif dengan pidana 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan, dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penanganan kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

Menurut jaksa, ada tiga hal yang meringankan perbuatan Arif, di antaranya mengakui dan menyesali perbuatannya.

"Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya," ucap jaksa di ruangan PN Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Selain itu, usia Arif yang masih muda juga masuk ke dalam pertimbangan hal yang meringankan yang disampaikan jaksa.

"Terdakwa masih muda dan diharapkan dapat memperbaiki dirinya," ucap jaksa.

Sementara itu, ada sejumlah hal yang memberatkan perbuatan Arif.

Pertama, Arif memerintahkan rekannya Baiquni Wibowo yang saat itu menjabat mantan PS Kasubag Riksa Baggak Etika Biro Wabprof Divisi Propam Polri menghapus rekaman Yosua saat masih hidup dan berjalan masuk ke rumah dinas Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo.

Selanjutnya, ia mematahkan laptop yang ada salinan rekaman kejadian tindak pidana sehingga tidak bisa bekerja atau berfungsi lagi.

Kemudian, Arif juga tidak memberikan barang bukti elektronik itu kepada penyidik Polri.

"Terdakwa tahu betul bukti sistem elektronik yang ada kaitannya terbunuhnya korban Yosua tersebut sangat berguna untuk mengungkap tabir tindak pidana yang terjadi yang seharusnya terdakwa melakukan tindakan mengamankannya untuk diserahkan kepada yang punya kewenangan yaitu penyidik," ucap jaksa.

Selain itu, Arif juga melanggar prosedur saat melakukan pengamanan bukti sistem elektronik itu. Sebab, tindakannya tidak didukung surat perintah yang sah.

Arif pun dinilai terbukti melakukan perintangan penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir J, berupa perusakan alat bukti elektronik.

Arif dinilai melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved