Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pemilu 2024

Lampaui Kewenangan Aturan Usia Capres, MK Disebut Lakukan Kejahatan Konstitusional

Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyebut, putusan MK menyimpang dari konstitusi.

Penulis: Tribun Network | Editor: Ahmad Syarifudin
Tribunnews/JEPRIMA
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) disela-sela memimpin sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). 

TRIBUNSOLO.COM - Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyebut, putusan MK menyimpang dari konstitusi. Menurutnya, MK telah melampaui kewenangan dengan melonggarkan syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai mempertontonkan kejahatan konstitusional dengan adanya putusan ini.

“MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional atau constitutional evil,” kata Hendardi seperti dilansir Kompas.com, Selasa (17/10/2023).

Hendardi menilai, putusan MK terkait uji materi syarat capres-cawapres tidak konsisten. Dalam perkara sebelumnya yakni nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, MK memutuskan menolak dengan alasan hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

Baca juga: Ganjar Ingin Hormati Putusan MK Terkait Batas Usia Capres Cawapres

Namun, pandangan itu berubah ketika memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut dan mengubah syarat usia capres-cawapres.

Menurut Hendardi, ketentuan mengenai usia capres-cawapres seharusnya menjadi kewenangan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat undang-undang, bukan MK.

“Apa pun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya. MK telah mengambil alih peran DPR dan presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator,” ujarnya.

Baca juga: Tanggapan Ganjar Pranowo Usai Peluang Gibran Maju Cawapres Terbuka Lebar: Janur Belum Melengkung

Menurut Hendardi, ini membuktikan bahwa MK sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy, sesuai selera penguasa.

Jika dengan putusan ini putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, melenggang ke panggung Pilpres 2024, lanjut Hendardi, putusan MK jelas ditujukan untuk mempermudah anak presiden melanjutkan kepemimpinan sang ayah dan meneguhkan dinasti politik Jokowi.

Di luar soal kontestasi pilpres, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya. Sebab, putusan para hakim konstitusi memperlihatkan judisialisasi politik otoritarianisme.

Baca juga: Diisukan Bakal Menyeberang dari PDIP ke Golkar, Gibran : Siapa yang Bilang?

“Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara,” tutur Hendardi.

“Dalam posisi ini, kelas kenegarawanan seperti apa yang hendak dibanggakan dari hakim-hakim MK?” lanjutnya.

Baca juga: Pengamat Cium Indikasi Gibran Terima Tawaran Jadi Cawapres, Siap Perang Lawan PDIP?

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved