Pemilu 2024
Disinggung Gibran, Pajak Karbon Hanya Rp 30 per kg Hanya Gimik?
Seharusnya ini sudah beroperasi dari 2022 menurut Undang-Undang. Tapi sampai sekarang tidak diterapkan bahkan diundur sampai 2025,” ujar Fanny
Penulis: Tribun Network | Editor: Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM - Penerapan pajak karbon merupakan salah satu isu yang disinggung dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres), Minggu (21/1/2023) lalu. Namun, tarif pajak yang kecil membuat pengamat lingkungan curiga ini hanya menjadi gimik politik semata.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore Christanto berharap gagasan mengenai penerapan pajak karbon tidak berakhir sebagai gimmick semata.
“Pajak karbon tadi sudah disampaikan ini berakhir cuma menjadi gimmick semata. Seharusnya ini sudah beroperasi dari 2022 menurut Undang-Undang. Tapi sampai sekarang tidak diterapkan bahkan diundur sampai 2025,” ujarnya di Kantor Eksekutif Nasional Walhi, Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Baca juga: Sindir Program Paslon Nomor Urut 2, Ganjar : Seperti Pepatah, Tidak Ada Makan Siang Gratis
Dalam acara debat tersebut, Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming mengatakan pentingnya pemberlakuan kebijakan pajak karbon ketika menjawab pertanyaan dari Cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD tentang ekonomi hijau yang diterapkan oleh pemerintah.
Tak hanya Gibran, Cawapres Nomor Urut 1 Muhaimin Iskandar juga menyatakan penerapan pajak karbon bisa menjadi salah satu instrumen untuk menyiapkan transisi penggunaan energi.
Fanny juga berharap bila nanti diberlakukan, siapa pun yang menjadi pemimpin negara kelak harus mempertimbangkan besarnya pajak karbon.
Baca juga: Wacana Hak Angket & Desakan Gibran Mundur, FX Rudy : Kalau Mengusulkan Pasti Ada Pertimbangan
Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Perpajakan disebutkan rencana tarif pajak karbon di Indonesia adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida.
“Kalau kemudian diterapkan dengan nilai pajak yang terlalu kecil hanya Rp 30 per kilogram, enggak akan efektif,” papar Fanny.
Menurutnya, pajak karbon diadakan dengan tujuan untuk menghalangi emitter untuk terus mengeluarkan karbon.
Bahkan besaran pajak karbon sangat kecil bila dibandingkan oleh besar pajak yang diterapkan di Singapura tahun ini. Tercatat, pajak karbon disana mencapai 25 Dolar Singapura per ton atau setara Rp 280.000 per ton.
Baca juga: Hasto Sebut Menteri Kader PDIP Sempat Ingin Mundur Dicegah Megawati
“Semakin besar gap maka akan semakin memudahkan emitter untuk mengakal eh urusan karbonnya,” papar Fannya.
Ia menambahkan sustainability report yang diusulkan oleh Gibran sebagai salah satu cara untuk pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan hal normatif yang harus dilakukan oleh perusahaan.
“Sebetulnya itu laporan sepihak saja dari perusahaan. Jadi perusahaan membikin laporannya sendiri soal sustainability dan kemudian dilaporkan. Jadi nggak akan efektif dipakai untuk instrumen tata kelola lingkungan,” tandasnya.
Baca juga: Anaknya Jadi Cawapres, Jokowi: Presiden Juga Pejabat Politik Boleh Memihak
Gibran Menyambut Bergabungnya PKS di Koalisi Pemerintah, Soal PDIP Tunggu Keputusan Prabowo |
![]() |
---|
Gagal Dilantik, Caleg dari PDIP Datangi Kantor KPU Lagi dan Minta Tunda Pelantikan DPRD Karanganyar |
![]() |
---|
Anggota DPRD Boyolali Periode 2024-2029 Dilantik, Susetya Kusuma Jadi Ketua Sementara |
![]() |
---|
Jalan Tarso dan Teguh di Pilkada Wonogiri Jateng Makin Terbuka, Golkar Beri Rekomendasi |
![]() |
---|
Blak-blakan Teguh Prakosa Bicara Soal Koalisi di Solo Jateng: Sebut Masih Cair, Bisa Berubah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.