Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Stigma Solo sebagai Sarang Teroris

Pakar Minta Waspadai Penegakan Hukum Problematis soal Terduga Teroris, Bisa Timbulkan Bibit Baru

Penegakan hukum yang problematis yang menimbulkan rasa ketidakadilan bagi keluarga eks napiter ditakutkan bisa menjadi bibit ideologi terorisme.

TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
Suasana rumah terduga teroris di Pasar Kliwon, Solo. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Seorang Ketua RT warga berinisial M warga Pasar Kliwon, Solo tiba-tiba ditangkap oleh pihak berwajib usai melaksanakan salat subuh, Kamis (25/1/2024) lalu.

Ia dikenal oleh warga sehari-hari sebagai pedagang aksesoris handphone di Pasar Klitikan.

Penangkapan ini menyisakan tanda tanya lantaran tidak ada tanda-tanda ia terlibat dalam aksi teror.

Seorang praktisi hukum, Awod menilai penangkapan semacam ini jauh dari rasa keadilan.

“Ada satu lingkungan yang terbilang baru. Ini tanah ada pembebasan membuat lingkungan di situ. Orang ini terpilih RT orang baik. Ditangkap. Terlibat. Cek ke lingkungan tidak tahu terlibatnya apa. Ini jauh dari rasa keadilan,” jelasnya.

Ia menduga penangkapan dengan pola semacam ini dianggap menjadi bagian dari kelompok besar seperti Jamaah Islamiyah (JI).

Baca juga: Terganjal Stigma yang Melekat, Eks Napiter dan Keluarga Klaim Masih Kerap Terima Diskriminasi

Mereka yang ada dalam daftar ini menunggu giliran untuk dijemput paksa.

“Ini yang repot. Apalagi akhir-akhir ini yang kurang jelas karena terlibat kelompok jaringan besar sebutlah JI. Dulu dianggap membuat negara. Punya anggota masing-masing bisa diambil kapan saja,” tuturnya.

Bahkan penangkapan terduga terorisme di Stasiun Balapan pada Rabu (31/7/2024) lalu juga menimbulkan banyak pertanyaan. Hingga kini belum ada pernyataan resmi pihak kepolisian terkait hal ini.

“Sekarang kita nggak ngerti di sana terlibat apa. Saya nggak ngerti kejadian di Balapan terlibat yang mana,” jelasnya.

Sebelumnya advokat seperti dirinya sempat berperan untuk melakukan pendampingan hukum bersama Tim Pembela Muslim (TPM). Dengan mengedepankan rasa keadilan banyak hal buruk bisa dicegah.

“Kita bisa memberikan kontribusi dalam penegakan terorisme. Kita bisa mengerti arah pergerakan. Kita bisa mencegah,” tuturnya.

Dulu ia juga aktif di Yayasan Gema Salam. Berbagai upaya dilakukan hingga para mantan napiter akhirnya bersedia meneriakkan perdamaian.

“Ketika kami terlibat di yayasan saya merasa sudah banyak mencegah yang akan dilakukan mereka. Saya alhamdulillah di akhir tahun 2022 kita pernah kumpulkan para eks-napiter teroris di 10 titik kita teriakkan perdamaian. Orang yang dulu membenci NKRI menebarkan perdamaian,” jelasnya.

Baca juga: Dibalik Stigma Solo sebagai Sarang Teroris, Laskar-laskar Berhasil Berantas Peredaran Judi dan Miras

Keadaan menjadi jauh berbeda setelah aparat penegak hukum makin agresif melakukan penangkapan.

Para keluarga yang ditinggalkan tak pernah mendapat penjelasan memadai. Hal ini yang menimbulkan dendam yang justru kontraproduktif dengan upaya deradikalisasi.

“Kalau kita bicara keluarga subyektif. Saya bisa nyebut banyak. Ada anaknya yang sangat dendam. Ini yang nggak diperhatikan. Kami lakukan pendekatan kami berikan masukan. Ketika tidak diperhatikan saya menyaksikan ada yang dendam sekali. Terlepas perbuatan orang tuanya benar atau tidak,” ungkapnya.

Justru penegakan hukum yang problematis inilah yang menimbulkan rasa ketidakadilan sehingga menjadi bibit ideologi terorisme.

“Pemilah-milahan kawan mereka menciptakan kecemburuan yang justru menyulitkan kita menjauhkan ideologi terorisme. Rasa tidak adil paling mudah diajak (aksi teroris). Hukumannya besar kecil subyektif. Tapi prosesnya. Kita kesulitan dengan jaringan-jaringan yang masih ada,” jelasnya.

 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved