Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Jalan Panjang Lepas dari Adiksi Nasi di Lumbung Padi

Pemerintah daerah pun mengupayakan diversifikasi pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan terigu.

|
Penulis: Hanang Yuwono | Editor: Rifatun Nadhiroh
TribunSolo.com / Anang Ma'ruf
ILUSTRASI Suasana panen raya padi oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Telukan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Senin (30/10/2023). 

Suci kemudian mengisahkan tentang kebiasannya makan sayuran yang dia tanam di areal rumahnya. Cabai, buah naga, kelengkeng, rambutan, hingga jeruk dia tanam di lahan rumahnya.

Rumah yang dia bangun dulunya memang bekas kebun. Pohon pisang dan pepaya banyak tumbuh sendiri tanpa ada yang menanam.

Jika karbohidrat didapatkannya dari singkong hingga gembili, untuk kebutuhan sayuran terkadang dia memasak kembang pepaya atau bahkan jantung pisang. Dua sayuran itu menurutnya menjadi favorit untuk dihidangkan.

Suci sendiri mengakui ketergantungan terhadap nasi sudah mendarahdaging sejak dia masih kecil. Dia mengenang dulu kadang makan tiwul, bekatul dan kadang jagung pipil.

“Namun sekarang zaman sudah berubah. Dua makanan tadi sulit didapat, malah sekarang saat merasakannya lagi, rasa sudah berbeda. Jauh lebih enak nasi,” ucapnya sambil terkekeh.

Suci sendiri sudah berkomitmen mengurangi konsumsi dari nasi, meski untuk lepas dari adiksi nasi cukup berat baginya. Sebab harga bahan pokok selain beras, jika dihitung-hitung memang lebih mahal. 

Demikian halnya kata dia, selama ini orang-orang di sekitarnya menganggap singkong, gembili, ubi, tak lebih sekadar kudapan pengganjal perut.

Sementara itu, pengakuan berbeda dituturkan Nurjanah (45), tetangga Suci Lestari. Dia justru mengaku lebih sering makan mie instan ketimbang nasi. Terkadang dirinya memberi bekal anaknya yang masih sekolah menengah pertama dengan nasi campur mie.

“Mie instan lebih praktis dan kenyang. Apalagi pakai nasi,” ujar Nurjanah.

Begitulah realita sulitnya lepas dari nasi di wilayah yang masuk dalam zona lumbung padi di Indonesia. Apalagi di Sukoharjo, beras surplus lantaran banyak hamparan sawah.

Bupati Sukoharjo, Etik Suryani, mengakui jika Kabupaten Sukoharjo merupakan lumbung padi di Jawa Tengah. Dia bertekad mencapai swasembada pangan di Kabupaten Makmur.

“Agar surplus beras Kabupaten Sukoharjo dapat kita dipertahankan, kuncinya adalah kolaborasi antarstakeholder agar semua mempunya komitmen bersinergi agar kedaulatan pangan dapat tercapai. Swasembada pangan tidak bisa hanya dibebankan kepada petani, namun pemerintah, swasta, akademisi bahkan media massa ikut andil dalam pembangunan pertanian di Kabupaten Sukoharjo,” kata Etik dalam siaran pers yang diterima TribunSolo.com beberapa waktu lalu.

Namun, jumlah petani padi di Sukoharjo terus menurun. Terakhir klaim Etik, jumlahnya hanya 4,8 persen. Demikian halnya sawah mulai tergerus bangunan perumahan.

Belum lagi adanya ancaman bahaya akibat perubahan iklim,yang bisa membuat pertanian mengalami dampak paling serius. Lahan padi bisa gagal panen akibat curah hujan yang tinggi dan bisa berimbas pada produksi pangan.

 “Jumlah penduduk di Sukoharjo yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani hanya 4,8 persen dari jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Dengan persentase jumlah petani ini tentunya bukan hal yang mudah untuk tetap mempertahankan surplus beras di Kabupaten Sukoharjo,” ujar bupati.

Sriyanto (30) sumringah menunjukkan porang bernilai tinggi hasil tanamannya di Dukuh Kragilan, Desa Karangnongko, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Selasa (3/8/2021).
Sriyanto (30) sumringah menunjukkan porang bernilai tinggi hasil tanamannya di Dukuh Kragilan, Desa Karangnongko, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Selasa (3/8/2021). (TribunSolo.com/Tri Widodo)
Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved