Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Viral Ayam Goreng Non Halal di Solo

Lampu Hijau Operasional Ayam Goreng Widuran Solo, Alasan Tak Perlu Ajukan Sertifikasi Halal

Ayam Goreng Widuran, yang dikenal luas sebagai salah satu warung makan ikonik di Kota Solo, diketahui menggunakan minyak babi dalam proses pengolahan

Penulis: Tribun Network | Editor: Putradi Pamungkas
TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
AYAM GORENG WIDURAN - Suasana di Ayam Goreng Widuran Jalan Sutan Syahrir, Kepatihan Kulon, Jebres, Solo, Sabtu (24/5/2025). Heboh di media sosial Ayam Goreng Widuran di Kota Solo ternyata dimasak dengan bahan yang tidak halal. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin/Andreas Chris

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kasus penutupan sementara rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo menyita perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir.

Keputusan penutupan ini dilakukan menyusul temuan bahan non-halal dalam salah satu menu yang disajikan, memicu reaksi dari berbagai kalangan dan menjadi sorotan dalam diskusi mengenai pentingnya sertifikasi halal di sektor kuliner.

Kini, restoran tersebut memang diizinkan buka kembali.

Hanya saja, sang pemilik ternyata masih belum mengoperasikan restoran yang sudah ada sejak 1973 tersebut.

Ayam Goreng Widuran, yang dikenal luas sebagai salah satu warung makan ikonik di Kota Solo, diketahui menggunakan minyak babi dalam proses pengolahan kremesan, salah satu komponen pelengkap dari menu ayam goreng yang disajikan.

Temuan ini kemudian menjadi pemicu pertanyaan dari masyarakat terkait status kehalalan makanan yang ditawarkan, mengingat sebagian besar konsumen di Indonesia beragama Islam dan memiliki kepekaan tinggi terhadap unsur kehalalan dalam konsumsi.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Surakarta, Ahmad Ulin Nur Hafsun, memberikan penjelasan mendalam mengenai prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam proses sertifikasi halal, khususnya bagi pelaku usaha kuliner.

Dalam keterangannya yang disampaikan pada Rabu, 4 Juni 2025 di Loji Gandrung, Ulin Nur Hafsun menegaskan bahwa rumah makan seperti Ayam Goreng Widuran memang tidak wajib mengajukan sertifikasi halal, mengingat sejak awal mereka secara terbuka menjual produk yang mengandung unsur non-halal.

Dalam konteks seperti ini, menurutnya, kejelasan informasi kepada konsumen jauh lebih penting ketimbang memaksakan sertifikasi yang tidak sesuai dengan praktik usaha.

“Sudah jelas non-halal, jadi tidak perlu sertifikasi halal. Yang perlu mendapatkan sertifikasi adalah produk yang diklaim halal oleh pelaku usahanya. Maka dari itu, perlu dilakukan pengecekan terhadap kehalalan produk tersebut. Namun jika sejak awal pelaku usaha menyatakan bahwa produknya non-halal, cukup mencantumkan informasi tersebut secara jujur kepada konsumen,” ujar Ulin.

MASIH TUTUP - Kondisi Warung Ayam Goreng Widuran di jalan Sutan Syahrir, Widuran, Kepatihan Kulon, Kota Solo, usai diperbolehkan buka kembali oleh Wali Kota Solo, Kamis (5/6/2025). Dari pantauan TribunSolo.com, pada hari ini Warung Ayam Goreng Widuran nampak masih belum beroperasi. Kondisi serupa juga terjadi di cabang Warung Ayam Goreng Widuran yang berlokasi di jalan Arifin
MASIH TUTUP - Kondisi Warung Ayam Goreng Widuran di jalan Sutan Syahrir, Widuran, Kepatihan Kulon, Kota Solo, usai diperbolehkan buka kembali oleh Wali Kota Solo, Kamis (5/6/2025). Dari pantauan TribunSolo.com, pada hari ini Warung Ayam Goreng Widuran nampak masih belum beroperasi. Kondisi serupa juga terjadi di cabang Warung Ayam Goreng Widuran yang berlokasi di jalan Arifin (TribunSolo.com/ Andreas Chris)

Ia juga menekankan bahwa dalam sistem sertifikasi halal, tidak cukup hanya melihat satu jenis bahan atau menu.

Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari bahan baku, proses pengolahan, hingga peralatan masak dan ruang produksi.

“Antara halal dan non-halal itu harus benar-benar dipisahkan, baik dari segi alat masak, tempat memasak, hingga tempat mencuci. Bila terjadi kontaminasi, misalnya ada satu unsur non-halal yang tercampur, maka seluruh produk bisa dikategorikan tidak halal,” jelasnya.

Ulin menjelaskan bahwa dalam kasus Ayam Goreng Widuran, penggunaan minyak babi untuk menggoreng kremesan memiliki dampak terhadap kehalalan produk secara keseluruhan.

Bahkan jika ayam yang digunakan adalah ayam halal, namun proses penggorengan dilakukan dengan minyak yang juga digunakan untuk bahan non-halal, maka kehalalan ayam tersebut tidak bisa dipertahankan.

“Ketika kremesan dan ayam disajikan dalam satu piring, atau digoreng menggunakan minyak yang sama, maka ayam itu pun menjadi tidak halal. Kontaminasi ini menjadikan keseluruhan menu masuk kategori non-halal,” tegasnya.

Baca juga: Dari Meja Makan Menuju Meja Hijau, Kala Ketua Komisi IV DPRD Solo Perkarakan Ayam Goreng Widuran

Penutupan sementara Ayam Goreng Widuran sendiri dilakukan sebagai langkah responsif untuk melakukan asesmen menyeluruh, menyusul munculnya keresahan di kalangan konsumen.

Setelah dilakukan klarifikasi dan evaluasi internal, rumah makan tersebut diizinkan kembali beroperasi dengan catatan memberikan informasi yang jelas terkait status produknya.

Lebih lanjut, Ulin menjelaskan bahwa proses pengajuan sertifikasi halal bagi rumah makan bukanlah hal yang sederhana.

Tidak seperti produk olahan skala rumahan seperti keripik atau makanan ringan yang bisa dilakukan melalui mekanisme self-declare, rumah makan harus menjalani proses audit yang ketat dan terstruktur.

“Rumah makan harus mengajukan sertifikasi halal per menu. Tidak bisa menggunakan sistem self-declare seperti produk industri rumah tangga. Jika sebuah rumah makan mengklaim bahwa seluruh menunya halal, maka seluruh bahan, alat, dan proses pengolahannya harus diaudit,” ujarnya.

Ia menambahkan, bila di tengah jalan rumah makan tersebut menambah menu baru, maka menu tersebut juga harus melalui proses sertifikasi terpisah.

Tidak bisa langsung dianggap halal hanya karena rumah makan tersebut sebelumnya sudah bersertifikat halal.

“Kalau ada menu baru, proses sertifikasinya harus dilakukan ulang untuk menu tersebut. Kalau ada yang masih dalam proses, maka harus dijelaskan bahwa menu itu belum tersertifikasi. Baru jika semua menu sudah mendapat sertifikasi halal, rumah makan bisa dikatakan benar-benar bersertifikat halal,” imbuhnya.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved