Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Mengejar Pajak One Piece

Jika Luffy mengejar harta yang belum tentu wujudnya, maka di dunia nyata, potensi itu tergambar jelas, namun agak susah mendapatkannya.

Editor: Hanang Yuwono
Istimewa/Dok.Pribadi
Dedi Kusnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, penulis opini Mengejar Pajak One Piece yang dimuat TribunSolo.com pada Sabtu (16/8/2025). 

Namun jumlah pendapatan negara dari pajak atas transaksi ini belum optimal.

Mengutip dari laman kumparan.com, penerimaan yang bisa dihimpun hingga 31 Maret 2025 hanya sebesar Rp 34,91 triliun.

Jumlah tersebut bersumber dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 27,48 triliun, pajak aset kripto Rp 1,2 triliun, pajak dari teknologi keuangan (fintech/P2P lending) Rp 3,28 triliun, dan dari pajak yang dipungut pihak lain atas transaksi melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,94 triliun, dengan jumlah pelaku usaha sebanyak 211 perusahaan.

Masih banyak bisnis online yang lepas dari pantauan otoritas pajak, terutama yang berbasis di luar negeri, antara lain transaksi melalui platform TikTok, Instagram, Facebook, Youtube, dan lainnya.

Mereka seringkali dapat menghindari kewajiban pajak lokal.

Konsekuensinya,Indonesia harus menyesuaikan diri untuk membangun sistem perpajakan yang lebih terbuka, adil, dan dapat diandalkan.

Di tengah masalah ini, pemerintah mulai mengatur model pemungutan pajak perdagangan digital untuk meningkatkan pendapatan, dengan cara antara lain:

Pertama, pemerintah telah mulai menerapkan PPN untuk transaksi e-commerce, termasuk transaksi yang dilakukan oleh perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60/PMK.03/2022,yang kemudian diperbarui dengan PMK 81 Tahun 2024. 

Kebijakan ini mengharuskanplatform digital asing memungut PPN untuk setiap transaksi yang dilakukan oleh pelanggan Indonesia.

Langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesetaraan perpajakan antara pelaku bisnis lokal dan internasional.

Kedua, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) untuk pedagang online.

Terbitnya aturan ini karena banyak dari mereka yang belum melaksanakan kewajibannya dengan benar.

Ketentuan tersebut tertuang dalam PMK 37 tahun 2025.

Ketiga, pajak transaksi kripto (cryptocurrency). Transaksi aset kripto berkembang dengan sangat cepat, ditandai makin meningkatnya popularitas Bitcoin dan Ethereum, serta aset lainnya.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved