Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Opini

Revisi UU MK : Demokrasi Tidak Cukup dengan Pemilu

Dari sudut pandang konstitusi, praktik ini berpotensi menyimpang dari semangat pemisahan kekuasaan dan akuntabilitas jabatan publik.

|
Dok Pribadi
Guru Besar Hukum Tata Negara FH UNS, Sunny Ummul Firdaus 

TRIBUNSOLO.COM - Wacana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali menyeruak ke permukaan. Narasi yang dibangun tampak sederhana: menyempurnakan kewenangan, menyesuaikan kebutuhan kelembagaan, atau mengatur masa jabatan hakim.

Namun di balik narasi normatif itu, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan publik: untuk siapa apa revisi ini, dan ke mana arah demokrasi konstitusional kita akan dibawa?

Mahkamah Konstitusi sejak awal kelahirannya didesain bukan sekadar sebagai pengadilan biasa. Ia hadir sebagai penjaga gawang terakhir konstitusi, benteng konstitusional yang menahan laju kekuasaan yang cenderung melampaui batas.

MK bukan bagian dari politik kekuasaan, melainkan bagian dari arsitektur negara hukum untuk memastikan demokrasi berjalan dalam koridor konstitusi, bukan sekadar dalam angka mayoritas. Dalam konteks inilah, setiap wacana revisi UU MK harus dibaca dengan kacamata kewaspadaan konstitusional.

Siapa di Balik Revisi?

Jika ditilik dari peta kekuasaan hari ini, aktor-aktor yang paling berkepentingan terhadap revisi UU MK adalah kekuatan yang secara politik memegang kendali utama: eksekutif yang tengah berkuasa, partai politik besar di DPR, dan kelompok elite yang berkepentingan menjaga stabilitas politik jangka panjang.

Hal ini bukan sekadar asumsi, melainkan dapat ditelusuri dari beberapa data dan fakta politik yang relevan.

Sepanjang 5 tahun terakhir, Mahkamah Konstitusi telah berulang kali membatalkan produk legislasi yang memiliki implikasi strategis bagi kekuasaan, antara lain:

  •  Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang membatalkan ketentuan sistem proporsional tertutup, bertentangan dengan keinginan sebagian elite politik tertentu.
  • Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena cacat formil, sebuah UU yang merupakan prioritas utama eksekutif.
  • Putusan Nomor 110-112/PUU-XX/2022 soal batas usia calon kepala daerah, yang mengoreksi intervensi politik tertentu terhadap pengaturan teknis Pilkada.

Selain itu, catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (2023) menunjukkan bahwa revisi UU MK sebelumnya (UU 7/2020) telah mengubah masa jabatan hakim secara tiba-tiba tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai.

Fakta ini menunjukkan kecenderungan kekuasaan ingin lebih leluasa mengatur lembaga ini.

Dari tren ini, motif di balik wacana revisi muncul dugaan dan anggapan yang terbaca, bahwa tujuannya bukan sekadar memperbaiki teknis kelembagaan, melainkan memastikan agar Mahkamah Konstitusi tidak menjadi batu sandungan bagi agenda politik kekuasaan, baik terkait hasil pemilu, legislasi prioritas, maupun agenda politik strategis ke depan.

Biasanya, pola revisi seperti ini diarahkan pada tiga titik krusial: (1) mengatur ulang komposisi, seleksi, atau masa jabatan hakim MK demi kepentingan kekuasaan yang sedang berjalan; (2) membatasi kewenangan pengujian undang-undang agar lebih sulit membatalkan UU strategis; atau (3) memberi ruang intervensi lebih besar bagi kekuasaan politik terhadap internal Mahkamah.

Semua arah ini akhirnya muncul sebuah duagaan dan anggapan bahwa  salah satu tujuan utamanya adalah: menciptakan Mahkamah Konstitusi yang lebih patuh, lebih jinak, dan lebih mudah diarahkan.

Mengapa Ini Ancaman?

Semestinya Revisi UU MK  dilakukan dengan mengembalikan pada konsep dasar  filosofisnya yaitu  penguatan supremasi konstitusi, namum jika hal itu tidak dilakukan justru akan membawa kita mundur dari prinsip demokrasi konstitusional.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved