“ (pegawai) yang masuk kami gilir, jadi tiga hari sekali gantian yang masuk,” jelasnya.
Dia mengaku sehari membutuhkan 100 liter migor.
Awalnya meski harganya mahal, tapi dia masih bisa mendapatkan migor tersebut.
Namun, sejak adanya subsidi migor, migor justru semakin langka.
Bahkan, akibat kelangkaan migor ini dia sempat mengehentikan sementara produksinya.
Baca juga: Demi Migor Murah, Warga di Solo Rela Antre 30 Menit Lebih di Keraton Kasunanan, Antrean Mengular
Baca juga: Minyak Goreng Murah di Swalayan Laris Klaten : Beli Pakai Kartu Antre, Minimal Belanja Rp 25 Ribu
Selama tiga hari, Ririn tidak mendapat pasokan migor.
Beruntung belakangan ini dia bisa kembali mendapat migor.
Tapi dengan syarat, dia juga musti membeli produk penyerta lainnya.
"Dulu migor disetor, sekarang sulit carinya. Maka sedapatnya aja, biasanya dapat kemasan yang harga yang mahal. Karena migor curah juga susah. Sekarang beli migor saja 3 karton juga harus beli barang lain, seperti makaroni 10 kilogram yang harganya Rp 123 ribu. Jadi keberatan saya," jelasnya.
Selain itu, dia menilai kualitas migor saat ini juga turun.
Hal itu terlihat dari proses penggorengan keripik usus yang tak kunjung kering.
Bahkan, baru dibuat goreng tiga kali saja, migor ini sudah menimbulkan busa yang melimpah ruah.
“ Kalau minyak (migor) dulu itu begitu masuk, tak lama kemudian kerikik usus bisa segera terangkat (kering), tapi sekarang, penggorengan jadi lebih lama,” jelasnya.
Penggorengan yang lebih lama ini terukur dari capaian usus yang berhasil digoreng.
Sebelumnya, seorang pekerja dalam sehari bisa menggoreng antara 110-115 kilogram usus.