TRIBUNSOLO.COM - Permohonan uji materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait syarat calon legislatif (Caleg) anggota DPR dan DPRD dari jalu perseorangan atau tanpa melalui partai politik resmi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu diungkap oleh Ketua MK Suhartoyo yang menyebut ada sejumlah alasan menolak permohonan uji materiil tersebut.
Lebih lanjut, Suhartoyo menerangkan bahwa permohonan pemohon tersebut tidak jelas atau kabur (obscuur).
Oleh karena itu, kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Baca juga: Tok! Pemilih Boleh Bawa HP ke Bilik Suara Saat Pemilu, Tapi Ada Syaratnya
"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Suhartoyo, dalam persidangan beragenda pembacaan putusan, di ruang sidang pleno Gedung MKRI, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2024) dikutip dari Tribunnews.com.
Sebagai informasi, putusan tersebut diambil melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dihadiri oleh 9 hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Anwar Usman, Enny Nurbaningsih, M Guntur Hamzah, Daniel Yusmic P Foekh, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani, pada 23 Januari 2024.
Permohonan yang teregister dengan Nomor Perkara 167/PII-XXI/2023 tersebut diajukan oleh Advokat bernama M Robby Candra.
Robby mencari celah untuk bisa menjadi calon legislatif (caleg) anggota DPR hingga DPRD dari jalur perseorangan dengan mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 27 dan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Kata Puan Soal Kerapnya Presiden Jokowi Bagi-bagi Bansos Jelang Pemilu : Itu Memang Sesuai Aturan
Menurut Robby, hak konstitusionalnya dirugikan lantaran tidak bisa menjadi calon anggota DPR maupun DPRD karena tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota partai politik peserta pemilu.
Menurutnya, syarat menjadi anggota partai politik peserta pemilu untuk pencalonan anggota DPR maupun DPRD merupakan bentuk diskriminasi terhadap individu atau perorangan Warga Negara Indonesia.
Oleh sebab itu, Robby mengatakan, norma Pasal 1 angka 27 dan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu bertentangan dengan hak konstitusional yang diatur UUD, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dalam petitumnya, Robby meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Peserta Pemilu adalah partai politik dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden'.
"Menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai "(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: Huruf n. anggota partai politik peserta pemilu atau perseorangan." bunyi petitum lainnya.
(*)