“Pak Sriyono menerbitkan sertifikat dimana sertifikat sebelumnya dibatalkan. BPN sudah mencabut. Tapi kenapa menerbitkan sertifikat baru. Perbuatan tersebut menentang Undang-Undang,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya berbagai bentuk pungutan yang dilakukan dengan memanfaatkan aset ini melanggar hukum.
Karena Pemerintah Kota Solo tidak memiliki hak atas penguasaan lahan ini, pungutan menurutnya termasuk penyalahgunaan wewenang dan pungutan liar.
“Itu adalah pungutan liar. Karena hak atas tanah bukan milik Pemkot. Tapi kenapa mengambil uang sewa dari pada pedagang. Dasar hukumnya nggak ada. Bisa dikatakan penyalahgunaan wewenang atau pungutan liar itu masuk kategori korupsi,” jelasnya.
Baca juga: Gladi Resik Jelang Pelantikan 45 Caleg Terpilih DPRD Sukoharjo, 3 Orang Mengundurkan Diri
Dimenangkan di Era Gibran
Diketahui, sengketa kepemilikan lahan di kawasan Sriwedari, Kota Solo, Jawa Tengah, yang telah berlangsung puluhan tahun akhirnya selesai ketika Gibran menjabat jadi Wali Kota Solo.
Setelah beberapa dekade, sita eksekusi atas tanah bersengketa itu dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Kota Surakarta.
Pembatalan sita eksekusi itu ditandai dengan pembacaan berita acara pengangkatan sita eksekusi atas lahan Sriwedari oleh juru sita Pengadilan Negeri Surakarta, Sumardi, Rabu (6/12/2023), di kawasan Taman Sriwedari.
Turut hadir dalam pembacaan berita acara tersebut Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa, Sekretaris Daerah Kota Surakarta Budi Murtono, dan Panitera Pengadilan Negeri Kota Surakarta Asep Dedi Suwasta.
”Penyitaan terhadap obyek (lahan) Sriwedari ini dilepaskan dari beban apa pun juga. Jadi, sita eksekusinya sudah selesai dan bisa digunakan oleh pemerintah daerah sebagaimana mestinya terhitung hari ini,” ujar Asep kala itu.
Untuk informasi, di dalam lahan Sriwedari yang jadi rebutan Pemkot Solo dan ahli waris ada Stadion Sriwedari, Museum Keris, Museum Radya Pustaka, Graha Wisata Niaga, hingga Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo.