Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Sejarah Kuliner Legendaris

Sejarah Tempat Makan 'HIK' di Solo Raya, Apa Bedanya dengan Angkringan?

Bagi kamu pendatang di Kota Solo tentu sudah mulai mengenal istilah tempat makan HIK.

TribunSolo.com/Tri Widodo
HIK DI SOLO RAYA : Pedagang HIK di Boyolali membuka lapaknya, Senin (3/2/2025). Berikut sejarah HIK di Solo Raya. 

TRIBUNSOLO.COM - Bagi kamu pendatang di Kota Solo tentu sudah mulai mengenal istilah tempat makan HIK.

Diketahui HIK adalah salah satu ikon kuliner malam yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan warga Solo.

Baca juga: Sejarah Tradisi Sinoman di Solo Raya : Cara Menyajikan Makanan dan Minuman yang Ada Sejak Abad ke-14

Tempat nongkrong yang sederhana namun penuh kehangatan ini dikenal sebagai singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung. 

Di sinilah berbagai gorengan, nasi kucing, dan minuman hangat tersaji, menemani obrolan santai hingga larut malam.

Biasanya, pedagang HIK mulai menggelar dagangannya menjelang sore dan baru menutup lapak saat dini hari.

Namun, ada pula yang beroperasi sejak pagi hingga sore.

Tak sulit menemukan HIK di Solo, gerobak-gerobaknya tersebar di berbagai sudut kota, dari pinggir jalan hingga dekat taman-taman kota.

Bagi kamu seorang pendatang yang berasal dari Yogyakarta mungkin akan membandingkan antara HIK dengan Angkringan yang sekilas mirip.

Menurut laman resmi Pemkot Solo, istilah HIK berasal dari Solo, sementara angkringan lebih lekat dengan budaya Yogyakarta. 

Meski sekilas mirip, keduanya punya karakteristik khas masing-masing.

HIK Solo terkenal dengan wedhang jahe dan susu segar Boyolali, ditemani nasi kucing, gorengan, dan camilan tusuk sate yang bisa dipanaskan di atas bara. Sedangkan di Jogja, pengunjung “methangkring” sambil menikmati kopi joss atau kopi tubruk dengan bara arang panas yang memberikan aroma kuat nan unik.

Baik HIK maupun angkringan sama-sama menghadirkan suasana hangat, harga terjangkau, dan rasa kebersamaan yang kental. Bedanya hanya pada nama dan nuansa lokalnya.

Tapi satu hal yang pasti, keduanya adalah simbol kuliner rakyat yang selalu jadi tempat paling nyaman untuk berbagi cerita, tawa, dan secangkir hangat di malam hari.

Perbedaan HIK dan angkringan lebih pada asal budaya dan istilahnya saja.

Secara konsep, keduanya sama-sama tempat nongkrong rakyat yang menyajikan menu sederhana, murah, dan penuh keakraban. Kalau kamu di Solo, namanya HIK; kalau di Jogja, disebut angkringan.

HIK DI SOLO RAYA : Pedagang HIK di Boyolali membuka lapaknya, Senin (3/2/2025). Berikut sejarah HIK di Solo Raya.
HIK DI SOLO RAYA : Pedagang HIK di Boyolali membuka lapaknya, Senin (3/2/2025). Berikut sejarah HIK di Solo Raya. (TribunSolo.com/Tri Widodo)

Baca juga: Cekcok di Angkringan Berujung Maut, Pria asal Laweyan Solo Tewas Usai Berkelahi dengan Temannya

Asal-Usul HIK di Kota Bengawan

Mengutip laman Warisan Budaya Tak Benda Kemdikbud, kisah HIK berawal dari tahun 1902, saat Kota Solo mulai diterangi listrik.

Malam yang semula gelap berubah menjadi hidup dengan hadirnya layar tancap di alun-alun, bioskop di Taman Kebonrojo dan Sriwedari, serta keramaian warga yang mencari hiburan malam.

Di tengah hiruk-pikuk itu, muncul lah para penjual makanan dari pinggiran Solo, seperti Klaten, yang berkeliling menawarkan kudapan ringan kepada penonton. Mereka menjinjing atau memikul dagangannya, bukan mendorong gerobak seperti sekarang.

Tempat-tempat ramai seperti Taman Sriwedari dan Pasar Pon menjadi lokasi favorit mereka berjualan.

Secara sejarah, salah satu tokoh penting dalam sejarah HIK adalah Mbah Karso Dikromo, atau akrab disapa Jukut. Pada 1930-an, ia merantau ke Solo dan memulai usahanya dengan menjual terikan, makanan berkuah kental khas Jawa Tengah. 

Seiring waktu, ia berinovasi menjual aneka minuman, bahkan menambahkan menu nasi kucing—nasi kecil dengan lauk ikan bandeng.

Nama “HIK” sendiri punya banyak versi asal-usul.

Ada yang mengatakan muncul dari teriakan khas pedagang yang terdengar seperti “hiiik... iyeeek!” atau bunyi bel gerobak “ting... ting... hik.”

Namun, sebutan Hidangan Istimewa Kampung kemudian menjadi yang paling populer.

Meski demikian, warga Solo juga kerap menyebut tempat ini dengan istilah wedhangan.

 

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved