Sejarah di Kota Solo
Asal-usul Dalem Wuryaningratan, Bangunan Bersejarah Solo yang Dibangun 1890 oleh Arsitek Belanda
Dalem Wuryaningratan, yang dibangun sekitar tahun 1890 oleh arsitek Belanda, sebelumnya merupakan kediaman KPH Wuryaningrat.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai kota dengan banyak bangunan bersejarah.
Salah satu bangunan bersejarah yang sarat cerita di Solo adalah Dalem Wuryaningratan.
Rumah tua dengan perpaduan arsitektur Jawa dan Eropa ini kini dikenal sebagai House of Danar Hadi, sebuah kompleks yang menaungi museum batik, butik, restoran, hingga ruang budaya.
Baca juga: Asal-usul Nama Desa Donohudan di Boyolali, Punya Ikon Berupa Asrama Haji yang Terkenal
Lokasinya ada di Jalan Slamet Riyadi No. 261, Purwosari, Laweyan, Sriwedari, Solo, Jawa Tengah.
Di balik keindahannya, tersimpan kisah panjang tentang cinta, sejarah, dan dedikasi seorang pengusaha batik ternama, Santosa Doellah, pemilik PT Batik Danar Hadi.
Cinta Lama pada Rumah Masa Kecil
Santosa Doellah sudah jatuh hati dengan bangunan itu sejak kecil.
Di masa kanak-kanaknya, ia sering bermain di halaman rumah besar tersebut, bahkan memetik mangga talijiwo dari pohonnya.
Mimpinya menjadi kenyataan pada tahun 1998, ketika ia membeli bangunan itu senilai Rp 27 miliar.
Dalem Wuryaningratan, yang dibangun sekitar tahun 1890 oleh arsitek Belanda, sebelumnya merupakan kediaman KPH Wuryaningrat, menantu sekaligus Pepatih Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono X.
Jejak Sejarah Perjuangan
Dalem Wuryaningratan bukan sekadar rumah bangsawan Jawa.
Di masa lalu, paviliun di sisi timur bangunan induk menjadi saksi lahirnya berbagai gagasan perjuangan kemerdekaan.
Di tempat itu, KPH Wuryaningrat, bersama tokoh-tokoh seperti Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo, berembuk tentang penggabungan Budi Utomo dan Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).
Baca juga: Asal-usul Nama Kelurahan Penumping di Solo, Dulu Tempat Tinggal Para Pejabat Tinggi Kerajaan
Wuryaningrat sendiri dikenal sebagai tokoh penting: pernah menjabat Ketua Pengurus Besar Budi Utomo, Ketua Partai Indonesia Raya, hingga anggota DPR periode 1950–1951.
Bahkan, di rumah itu pula pernah digelar rapat yang menuntut Jepang untuk mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengasingan.
Bangunan ini juga sempat menjadi markas perjuangan ketika masa revolusi, hingga akhirnya mengalami masa-masa terbengkalai sebelum direstorasi oleh Santosa Doellah.
Pemugaran dengan Cinta dan Ketelitian
Saat pertama kali dibeli, kondisi bangunan sudah rusak parah.
Santosa kemudian melakukan preservasi dan rekonstruksi dengan prinsip pelestarian bentuk asli.
Ia mempertahankan tatanan ruang khas rumah adat Jawa yang terdiri dari pendapa, pringgitan, dalem ageng, gandhok kiwa-tengen, dan ruang keluarga bergaya Eropa.
Setiap detail arsitektur dipulihkan, mulai dari lantai, lampu gantung, hingga ornamen kayu jati.
Baca juga: Asal Usul Kuliner Ayam Geprek yang Kini Menjamur di Kota Solo, Jadi Favorit Mahasiswa dan Karyawan
Di bagian depan, terdapat kolam dengan patung manusia dan buaya sebagai candra sengkala (penanda tahun pendirian rumah).
Dua meriam antik berdiri di kanan-kiri bangunan utama, menambah kesan megah rumah bangsawan tempo dulu.
Lahirnya Museum Batik Danar Hadi
Di bagian timur kompleks, Santosa mendirikan Museum Batik Danar Hadi, yang diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri pada 20 Oktober 2000.
Museum ini menyimpan lebih dari 10.000 koleksi batik yang dikumpulkan sejak tahun 1967.
Koleksi batik di museum dibagi dalam 11 ruang pamer, mencakup berbagai pengaruh budaya: Batik Belanda, Cina, Djawa Hokokai, India, Keraton, Sudagaran, Petani, hingga Danar Hadi.
Khusus bagi pencinta batik keraton, museum ini menjadi rujukan utama
Bahkan, GKR Koes Moertyah Wandansari (Gusti Mung) dari Keraton Surakarta kerap merekomendasikan museum ini sebagai representasi batik klasik Kasunanan.
Dari Rumah Bangsawan Menjadi Rumah Budaya
Kini, Dalem Wuryaningratan bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, tetapi juga ikon kebudayaan kota Solo.
Pendapanya masih sering digunakan untuk hajatan, sementara paviliunnya kini menjadi kafé elegan tempat wisatawan bersantai.
Rumah yang dulu milik bangsawan pejuang itu kini menjadi ruang hidup bagi batik, sejarah, dan masyarakat.
Santosa Doellah tidak sekadar menyelamatkan bangunan tua, tetapi juga menghidupkan kembali jiwa budaya yang pernah bersemayam di dalamnya.
(*)
| Asal-usul Banjarsari, Kecamatan yang jadi Pusat Aktivitas Ekonomi dan Wisata di Kota Solo |
|
|---|
| Serupa tapi Tak Sama, Ini Lho Perbedaan Batik Solo dan Batik Jogja, Bisa Terlihat dari Motifnya |
|
|---|
| Dari Benteng hingga Kauman, Kenapa Solo dan Jogja Punya Banyak Kemiripan? Inilah Asal-usulnya |
|
|---|
| Kenapa Solo Dijuluki 'Kota Liwet'? Ini Sejarahnya Kuliner Tradisional Bisa jadi Ikon yang Terkenal |
|
|---|
| Ada Jaladara dan Bathara Kresna, Kenapa Nama Kereta di Solo Diambil dari Pewayangan? Ini Sejarahnya |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.