Ritual Mahesa Lawung

Menapaki Jejak Spiritual Ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta, Tradisi Sejak Mataram Islam Berdiri

Setiap tahun, sebuah tradisi kuno kembali menghidupkan jejak spiritual masyarakat Jawa di jantung Keraton Surakarta.

TribunSolo.com/ Septiana Ayu
TRADISI MAHESA LAWUNG - Prosesi ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta Hadiningrat pada Senin (20/10/2025). Tradisi ini sudah berjalan sejak awal berdirinya Mataram Islam atau bahkan sudah ada jauh sebelumnya. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Setiap tahun, sebuah tradisi kuno kembali menghidupkan jejak spiritual masyarakat Jawa di jantung Keraton Surakarta.

Pada enin (20/10/2025) lalu, ritual Mahesa Lawung kembali digelar, sebuah prosesi sakral yang berpuncak pada penanaman kepala kerbau perjaka di tengah hutan, demi menjaga harmoni antara alam dan manusia.

Bagi pemerhati sejarah Kota Solo KRMAP L. Nuky Mahendranata Adiningrat, Mahesa Lawung bukan sekadar tradisi.

Tradisi ini adalah warisan panjang yang telah hidup sejak era Mataram Islam, bahkan jejaknya bisa ditelusuri hingga masa Mataram Hindu dan Majapahit.

"Di era Majapahit dulu disebut dengan tradisi Rajawedha, atau semacam sedekah bumi," kata Kanjeng Nuky, demikian ia akrab disapa, kepada TribunSolo.com belum lama ini.

"Intinya, ritual Mahesa Lawung adalah tradisi tahunan yang ada sejak masyarakat Jawa mengenal adanya sedekah bumi. Perlu adanya keharmonisan antara jagad alit dan jagad ageng serta alam, yang divisualisasikan dalam tradisi Mahesa Lawung ini," jelas Kanjeng Nuky.

TRADISI MAHESA LAWUNG - Prosesi ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta Hadiningrat pada Senin (20/10/2025). Tradisi ini sudah berjalan sejak awal berdirinya Mataram Islam atau bahkan sudah ada jauh sebelumnya.
TRADISI MAHESA LAWUNG - Prosesi ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta Hadiningrat pada Senin (20/10/2025). Tradisi ini sudah berjalan sejak awal berdirinya Mataram Islam atau bahkan sudah ada jauh sebelumnya. (TribunSolo.com/ Septiana Ayu)

Ritual ini dimulai dari Sitihinggil Utara Keraton Surakarta.

Di tempat yang sakral itu, para peserta berkumpul dalam keheningan, memanjatkan doa dalam bahasa Arab. 

Di hadapan mereka, kepala kerbau jantan yang masih murni, belum pernah membajak sawah dan belum kawin, menjadi pusat perhatian.

"Proses ritualnya diawali di Sitihinggil Utara (Keraton Surakarta), itu didoakan. Ubarampe dari Mahesa Lawung berupa kepala kerbau jantan yang masih murni," ujar Kanjeng Nuky.

"Dalam arti, kerbau ini belum pernah dipakai untuk membajak sawah dan masih perjaka," tambahnya.

Setelah doa selesai, rombongan bergerak menuju Hutan Krendowahono, Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.

Di tengah rimbunnya pepohonan, suasana berubah menjadi lebih syahdu.

Doa kembali dipanjatkan, kali ini dalam bahasa Jawa, sebelum kepala kerbau ditanam ke dalam tanah.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved