Budiman Sudjatmiko Bandingkan Oposisi saat Ini dengan Oposisi Orde Baru
Politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko mengenang masa perjuangannya dahulu ketika menjadi seorang aktivis.
Penulis: Efrem Limsan Siregar | Editor: Hanang Yuwono
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Efrem Siregar
TRIBUNSOLO.COM -- Politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko mengenang masa perjuangannya dahulu ketika menjadi seorang aktivis.
Ia terlibat dalam sejumlah demo sewaktu Presiden Soeharto berkuasa.
"Dulu kami demo nggak dibayar, bikin spanduk nggak diorder. Kalau sedang sial ketangkep dan disiksa, paling ringan kena gas air mata. Tidak menyerang etnis/agama dan nggak pakai adu domba warga. Kami yang tabrakan fisik kami dengan pasukan anti huru-hara. Jangan sama-samakan yang beda," katanya melalui akun Twitter @budimandjatmiko, Kamis (7/3/2018).
Baca: Jika Ingin Mencoblos, Pemilih dengan Gangguan Jiwa Harus Punya Surat Keterangan dari Dokter RSJ
"Cara oposisi menyerang pemerintah yang kredibel sedang membangun dan bersih-bersih adalah tidak menjadikan dirinya lebih kredibel, melainkan dengan jadi #OposisiTidakKredibel. Itu satu-satunya pembeda yang mereka lakukan. Karena dengan tidak kredibel, mereka yakin pasarnya terbentuk. Caranya? Bodohkan!" tulis @budimandjatmiko.
"Masukkan tikus sebanyak-banyaknya ke rumah orang-orang supaya mereka lebih banyak belanja racun tikus daripada vitamin untuk diri mereka," katanya.
Baca: Saat Ini Baru Satu Kartu, Dishub Solo Janjikan Mesin E-Parkir Bisa Diakses untuk Semua Kartu
Budiman kemudian membandingkannya dengan gerakan oposisi sewaktu Orde Baru (Orba).
"Dulu gerakan oposisi terhadap Orba adalah adu otak dengan kawan dan adu otot dengan lawan (karena lawan memusuhi otak2 perjuangan). Sekarang #OposisiTidakKredibel," jelasnya.
Namun, warganet membantah adanya oposisi dalam Orba, sebab menurutnya parlemen saat itu sama sehingga tidak memungkinkan adanya oposisi.
Pernyataan ini dibalas Budiman dengan mengatakan, mereka yang beroposisi bergerak di luar sistem saat itu.
"Karena itu kami cuma bisa bergerak di luar sistem. Bukan karena kami anti sistem melainkan karena sistem otoriter saat itu tidak membolehkan 1 kursi pun untuk berbeda," kata Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia ini.
(*)