Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Pantangan Warga di Dukuh Butuh Sragen : Tak Berani Gelar Wayangan, Jika Nekat Takut Kena Musibah

Di balik sejarah berdirinya Desa Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, ada kisah lain yang menyertainya.

Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM/EKA FITRIANI
ILUSTRASI : Pertunjukan wayang. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Di balik sejarah berdirinya Desa Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, ada kisah lain yang menyertainya.

Adalah pantangan, di mana warga tidak boleh menggelar pertunjukan wayang kulit.

Hal ini berlaku bagi warga di satu RT yang berdekatan dengan Masjid Butuh dan Makam Butuh.

Menurut Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz mengatakan pantangan itu ada sejak kedatangan Ki Ageng Butuh di daerah pinggir Sungai Bengawan Solo.

Makam Butuh, Pemakaman Kiai Ageng Butuh (Raja Pengging II) dan anaknya Raden Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Raja Pajang pertama, di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Makam Butuh, pemakaman Kiai Ageng Butuh (Raja Pengging II) dan anaknya Raden Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Raja Pajang pertama, di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (TribunSolo.com/Septiana Ayu)

"Ceritanya dari Ki Ageng Butuh itu merupakan rekan setia Syekh Siti Jenar, konon ketika berdakwah Syekh Siti Jenar tidak dicampur dengan budaya," ujarnya kepada TribunSolo.com, Jumat (12/11/2021).

Sehingga ketika Syekh Siti Jenar berdakwah, murni menyebarkan dan mengajarkan agama islam melalui ceramahnya.

Melihat kebiasaan rekan setianya itu, hal yang sama juga dilakukan Ki Ageng Butuh.

"Ki Ageng Butuh hanya ingin menghormati rekannya itu, dikarenakan wayang menjadi salah satu produk budaya," jelasnya.

Diketahui, Ki Ageng Butuh satu masa dengan Sunan Kalijaga sosok wali yang waktu itu gencar menyebarkan agama Islam dengan media wayang.

Baca juga: Asal-usul Dukuh Butuh Sragen,Ada Tanah Milik Keraton Solo hingga Makam Ki Ageng Butuh & Joko Tingkir

Baca juga: Menilik Akhir Kisah Hidup Joko Tingkir, Raja Pajang Pertama dan Terlama, Dimakamkan di Plupuh Sragen

"Bukan tidak suka dengan wayang, namun hanya menghormati Syekh Siti Jenar," ucapnya.

Karena warga menganggap Ki Ageng Butuh sebagai tetua, maka perintah itu masih dilaksanakan hingga kini, sehingga mereka takut jika melanggar.

Karena diyakini bisa membawa musibah mengingat sudah diyakini ratusan tahun ini.

"Sampai sekarang belum ada warga yang menggelar pertunjukkan wayang, cuma warga satu petak di sini saja," jelasnya.

"Untuk warga yang seberang jalan, meski masih berada di satu Dukuh Butuh, masih boleh menggelar pertunjukan wayang," kata Aziz.

Menurut Aziz, warga masih diperkenankan menonton wayang, melalui saluran televisi maupun telepon pintar.

"Kalau nonton lewat TV, atau HP masih boleh, yang tidak boleh menggelar pertunjukkan wayang," akunya.

Asal-usul Dukuh Butuh

Ada beberapa daerah di Kabupaten Sragen yang bernama Butuh.

Salah satunya yakni Dukuh Butuh, yang ada di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh.

Lokasinya, hanya beberapa puluh meter saja dari sungai Bengawan Solo.

Di Dukuh Butuh ini, terdapat sepetak tanah yang dimiliki oleh Keraton Solo.

Tanah Keraton Solo di Dukuh Plupuh memiliki luas 65x65 meter, yang terdiri dari Masjid Butuh, kompleks Makam Butuh, dan perumahan juru kunci.

Baca juga: Perankan Jaka Tingkir di Kirab Syawalan, Putra PB XII Ini Mengaku Tak Banyak Latihan

Baca juga: Rute Makam Joko Tingkir, Salah Satu Wisata Religi di Sragen yang Wajib Dikunjungi

Keberadaan Makam Ki Ageng Butuh atau nama lain dari Ki Ageng Kenongo itulah, asal usul nama Dukuh berasal.

Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz mengatakan setiap tempat yahg disinggahi Ki Ageng Butuh selalu diberi nama Butuh.

"Beliau biasa melakukan perjalanan menyusuri pinggir Bengawan Solo, setiap tempat yang beliau singgahi, diberi nama Butuh," ujarnya kepada TribunSolo.com, Jumat (12/11/2021).

Ki Ageng Butuh (Ki Ageng Kebo Kenongo) sendiri merupakan ayah dari Joko Tingkir, Sultan Pajang pertama.

Sosok Ki Ageng Butuh juga merupakan seorang Adipati kedua Kadipaten Pengging yang ada di Boyolali.

Ki Ageng Butuh menggantikan ayahnya Ki Ageng Handayaningrat sebagai Adipati Pengging.

Saat masih menjadi Adipati Pengging, Ki Ageng Butuh mendapat perintah untuk menghadap Keraton Demak.

Karena, Adipati Pengging berada dibawah Kasultanan Demak, setelah Majapahit.

Namun, Ki Ageng Butuh menolak untuk menghadap, hingga Raja Demak mengutus Sunan Kudus untuk 'menjemput paksa' dari Kadipaten Pengging.

Setelah berhasil dibujuk, Ki Ageng Butuh tetap pada pendiriannya, atas sebuah prinsip 'Menghadapnya Hati itu Hanya Kepada Zat yang Maha Pencipta'.

Tak mau larut dalam perebutan kekuasaan, Sunan Kudus kemudian memberi saran supaya Ki Ageng Butuh keluar dari Kadipaten Pengging.

Bersama sang istri, Ki Ageng Butuh melakukan perjalanan ke arah timur dan sampailah di sebuah hutan.

"Dukuh Butuh dulunya hutan, di seberang Bengawan Solo juga hutan, sudah ada penduduk setempat tapi masih jarang," jelasnya.

Ki Ageng Butuh memutuskan untuk tinggal di daerah itu, yang saat ini disebut sebagai Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen.

Baca juga: Menilik Akhir Kisah Hidup Joko Tingkir, Raja Pajang Pertama dan Terlama, Dimakamkan di Plupuh Sragen

Baca juga: Akhir Pekan Pertama Sejak Dibuka Kembali, Objek Wisata Waduk Gajah Mungkur Ramai Didatangi Wisatawan

"Di lokasi itu dibuat rumah yang saat ini menjadi makamnya itu, juga dibangun tempat ibadah yang saat ini masjid Butuh, dan pesanggrahan seperti alun-alun tempat berkumpulnya warga," terangnya.

Alasan Ki Ageng Butuh pindah ke Dukuh Butuh adalah untuk mengasingkan diri, dan mencegah adanya konflik.

"Karena memang sosok Ki Ageng Butuh tidak ingin berperang," singkatnya.

Kepindahannya semata ingin mencari ketenangan, baik ketenangan batinnya, maupun negaranya.

Kemudian, Ki Ageng Butuh memilih untuk berbaur dengan penduduk setempat dengan memperkenalkan diri sebagai Butuh.

Itulah asal usul nama Dukuh Butuh, yang ada di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh.

Oleh penduduk setempat, Ki Ageng Butuh dianggap sebagai orang yang dituakan dan dihormati.

Ki Ageng Butuh dijadikan sosok yang dicontoh oleh penduduk setempat dalam hal ajaran agama Islam.

Kondisi Makam Butuh dulu, tidak seperti sekarang ini.

Sekitar tahun 1930, atas perintah Pakubuwono X makam Butuh dipugar.

Makam ditinggikan dengan alasan dulu sering dilanda banjir hingga masuk kompleks pemakaman.

Selain itu juga dibangung bangunan di atas makam, dengan maksud untuk memberi kenyamanan kepada peziarah yang datang.

Di dalam kompleks Makam Butuh, terdapat Makam kedua orangtua Raden Joko Tingkir, anaknya Sunan Prabuwijaya, ketiga sahabat Joko Tingkir, dan makam kerabat lainya.

Di luar, terdapat makam Senopati Pengging, beserta makam tak dikenal, yang diduga pengikut Raden Joko Tingkir.

Menuju pintu masuk kompleks makam Butuh, terdapat pemakaman umum Dukuh Butuh.

Selain itu, alasan Ki Ageng Butuh memutuskan untuk tinggal di pinggir Bengawan Solo itu dengan alasan dulu sungai terpanjang di Pulau Jawa itu merupakan media transportasi.

"Karena saat pertama kali datang, Ki Ageng Butuh ingin mendirikan masjid, sungai dijadikan sebagai media transportasi untuk mendatangkan kayu-kayu besar itu, jadinya jika lewat, bisa langsung diambil," pungkasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved