Berita Boyolali Terbaru
Di Boyolali Ada Kampung Tenggok: Pakai Teknik Anyaman Turun Temurun, Rata-rata Perajin Sudah Lansia
Di tengah gempuran perkakas modern, Tenggok masih dipakai untuk keperluan masyarakat sehari-hari, khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan.
Penulis: Tri Widodo | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo
TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI- Di tengah gempuran perkakas modern, tenggok masih dipakai untuk keperluan masyarakat sehari-hari, khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan.
Masyarakat biasa memanfaatkan wadah tradisional ini untuk kebutuhan sehari-hari, seperti untuk wadah hasil panen padi, beras dan sebagainya.
Di Boyolali ada “Kampung Tenggok”.
Tempatnya, di Dukuh Sembung, Desa Canden, Kecamatan Sambi, Boyolali ini mayoritas penduduknya membuat tenggok.
Baca juga: Jenis Kerajinan dari Enceng Gondok yang Punya Nilai Jual Tinggi, Jawaban Belajar di Rumah TVRI SMP
Baca juga: Sejarah Kerajinan Tumang Boyolali, Ada Sejak Abad ke-16, Lekat dengan Kisah Kyai Rogosasi
Kampung ini ada di sebelah barat Waduk Cengklik, Ngemplak, yang berjarak kurang lebih 2 kilometer.
Masih ada belasan hingga puluhan warga yang membuat tenggok di kampung itu.
Pembuatan tenggok ini dimulai dari membelah bambu menjadi tipis dengan ukuran tertentu kemudian merangkainya menjadi sebuah anyaman yang berbentuk mirip keranjang atau ember.
Bagi orang awam, tentu tidak mudah, karena butuh keterampilan khusus, ketelatenan, kesabaran untuk menghasilan tenggok yang kokoh dan kuat.
Tapi bagi warga Sembung, membuat tenggok tak begitu sulit.
Sebab, perajin yang rata-rata sudah lansia itu sudah puluhan tahun hidup bersama Tenggok.
Rabiman (65) salah satu perajin tenggok yang sudah sejak belia bisa membikin tenggok.
“Sejak kecil saya sudah bisa membuat tenggok. Saya belajar dari orang tua saya dahulu,” ujarnya, kepada TribunSolo.com, Kamis (24/2/2022).
Baca juga: Kisah Anak Muda Perajin Pigura, Membangun Pasar Online dari Nol, Kini Jadi Penopang Banyak Orang
Dia mengaku membilah bambu menjadi tipis dan memiliki ukuran tertentu yang paling memakan waktu.
Bahkan butuh waktu seharian untuk membelah bambu untuk dijadikan satu buah tenggok.
Namun jika tinggal menganyamnya saja, dalam sehari bisa 5-6 tenggok dihasilkan.
Tenggok-tenggok itu lantas ia jual ke pasar terdekat atau terkadang ada pengepul yang datang ke rumah membeli tenggok-tenggoknya.
Harganya bervairiasi, mulai Rp 5.000 – Rp 10.000 per buah, tergantung ukuran tenggok.
Baca juga: Kondisi Perajin Tumang Mulai Bangkit Setelah Dihantam Pandemi: Pesanan dari Jepang dan Australia
“Hasilnya memang tidak banyak tetapi bersyukur, karena setidaknya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Umi (70), salah satu perajin lain mengatakan meski saat ini banyak perkakas modern, namun masih banyak yang butuh tenggok.
Menurutnya, perkakas modern tidak bisa menggantikan perkakas tradisional.
Meskipun fungsinya sama, namun masyarakat tetap lebih memilih perkakas dari Bambu ini.
Selain itu, harganya juga lebih terjangkau.
"Rumit dan lama bikinnya tidak masalah. Yang penting ada hasilnya," jelasnya. (*)