Berita Boyolali Terbaru
Sudah Mulai Langka, Tapi Tradisi Wiwitan Sebelum Panen Masih Lestari di Sambi : Cara untuk Bersyukur
Tradisi yang biasa dilakukan masyarakat jelang masa panen padi itu saat ini cukup sulit dijumpai di area sawah yang masuk masa panen.
Penulis: Tri Widodo | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo
TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Wiwitan salah satu tradisi masyarakat yang mulai langka.
Tradisi yang biasa dilakukan masyarakat jelang masa panen padi itu saat ini cukup sulit dijumpai di area sawah yang masuk masa panen.
Tapi sejumlah petani di Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali masih melaksanakan tradisi wiwitan ini.
Sastro salah satu petani yang menggelar tradisi ini, Senin (1/8/2022).
Nasi gurih dengan lauk berupa ayam ingkung, serta sayur dia bawa dengan sebuah tas.
Selain itu juga ada tempe, peyek, kerupuk yang dibungkus dengan daun jati serta buah pisang dia bawa ke tengah-tengah petakan sawahnya.
Ubo rampe berupa bunga mawar merah dan putih tak lupa juga dia persiapkan.
Seluruh makanan itu kemudian dia letakkan di pinggir rumpun padi yang ada disamping pematang sawah.
Setelah itu, dibacakan doa-doa.
Baca juga: Sudah Daftar Pemilu 2024 di KPU RI, DPK Partai Prima Solo : Mesin Parpol di 5 Kecamatan Terbentuk
Baca juga: Berkah Agustusan, Perajin Bendera & Umbul-umbul di Boyolali Banjir Order sampai Tutup Lapak Online
Sebagian makanan itu itu kemudian dibagi-bagi ke potongan daun pisang yang kemudian diletakkan di pojokan sawah dan sebagian lagi dia tinggalkan di lokasi tersebut.
“Ini untuk nguri-uri atau melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang,” katanya saat berbincang dengan TribunSolo.com, Senin (1/8/2022).
Dia menyebut tradisi wiwitan ini sebenarnya sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Apalagi saat ini, banyak petani yang gagal panen atau padinya terlihat rusak, namun di padi tanamannya masih selamat.
"Ya ini meskipun sedikit, kayaknya masih ada (masih ada harapan bisa panen)," ucapnya.
Dia menegaskan tradisi wiwitan ini bukan lah hal musrik dengan meminta sesuatu kepada selain Tuhan.
Melainkan sebagai salah satu metode untuk memohon kepada Tuhan dengan meninggalkan sebagian kecil makanan di sawah.
"Kan di sawah ini, ada banyak sekali hewan. Seperti jangkrik, kodok, serangga," aku dia.
"Nah kenapa kami beri makanan Wiwitan ini, supaya hewan-hewan tersebut tidak makan padi yang dalam waktu dekat ini mau dipanen," tambah.
Dia mengaku meski saat ini sudah tidak banyak orang yang menggelar tradisi ini, namun sebagai masyarakat Jawa dia masih tetap melakukannya.
"Namanya orang beda-beda, tapi wiwitan ini cara saya untuk bersyukur," jelas dia.
Penen Dimakan Wereng
Petani di Sambi, Boyolali dibuat lesu karena serangan hama wereng.
Bagaimana tidak, hasil panennya kurang maksimal.
Serangan hama wereng membuat hasil panen petani merosot jauh.
Mahmudi, salah satu petani di Desa Canden, Kecamatan Sambi, yang mengeluhkan hasil panenan musim tanam ini.
Serangan hama wereng menyebabkan hasil panen turun drastis.
Jika pada musim tanam lalu sepetak sawah miliknya bisa menghasilkan 38 karung gabah kering panen, pada panenan kali ini hanya 30 karung.
Baca juga: Pertemuan Petani Solo Raya & Pengusaha di Karanganyar : Kesempatan Pasarkan Produk Unggulan
"Bobot perkarung juga beda. Kalau dulu satu karung bisa mencapai 50 kg. Kali ini hanya berkisar 40-45 kilogram saja," jelasnya, kepada TribunSolo.com, Minggu (31/7/2022).
Dia menyebut jika serangan hama wereng ini terjadi merata.
Belasan hektar sawah di Canden hampir seluruhnya diserang wereng.
Alhasil, produksi gabah musim ini tak sebanyak musim lalu.
"Untung saja, harganya (gabah kering panen) naik. Kalau dulu hanya Rp 3.500-4.000. Kalau saat ini bisa Rp 4.800," katanya.
Serangan hama wereng juga menyerang areal pesawahan di Desa Cermo, Kecamatan Sambi.
Setidaknya, lahan yang terserang mencapai 15 hektare.
“Kalaupun panen ya tidak seberapa, hanya sisa- sisanya saja. Kurang dari 40 persen,” ujar Kades Cermo, Suranto.
Dijelaskan, akibat serangan hama wereng tersebut, petani mengalami kerugian.
Padahal berbagai upaya telah dilakukan petani.
Mulai dari penyemprotan pestisida secara rutin hingga pemupukan tanaman dengan berbagai jenis pupuk.
“Ya, sudah. Bahkan, petani rutin melakukan penyemprotan. Namun hasilnya tidak maksimal. Sebagian bisa panen, namun kurang dari 40 persen,” tambahnnya.
Salah satu petani, Suradi mengakui mengalami kerugian akibat gagal panen. Beruntung, sawahnya adalah milik sendiri sehingga tidak dibebani biaya sewa lahan kepada pemerintah desa.
Namun demikian, dirinya bingung mendapatkan dana untuk biaya tanam mendatang.
“Entahlah nanti, mungkin cari pinjaman dulu atau menjual barang yang ada," pungkasnya.
Pertanian di Sragen Diserang Hama
Petani di Kabupaten Sragen kini tengah dibuat pusing dengan semakin maraknya hama tikus di sawah.
Berbagai cara dilakukan, seperti dengan menyebar racun tikus, pengasapan bahkan memasang jebakan tikus yang dialiri listrik.
Jebakan tikus beraliran listrik ternyata tak hanya membunuh hama tikus, melainkan petani juga menjadi korban.
Baca juga: Pilu Petani di Buleleng, Dijanjikan Lolos Jadi PNS, Malah Kena Tipu Oknum Polisi Rp 350 Juta
Baca juga: Tak Cuma Resmikan Waduk Pidekso Wonogiri, Presiden Jokowi Sebar Benih Ikan & Ngobrol Sama Petani
Sejak tahun 2019, tercatat sebanyak 22 petani meninggal dunia di sawah setelah tersengat listrik jebakan tikus.
Salah satu petani asal Bonagung, Tanon, Suhari mengatakan hama tikus mulai merebak sejak tiga tahun terakhir.
"Kalau di Bonagung mulai merebak tiga tahun lalu, dampaknya luar biasa," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (5/1/2022).
"Akhirnya petani juga secara otomatis menambah pembiayaan, sedangkan hasil juga berkurang, sekitar 40 persen," tambahnya.
Baca juga: Pedihnya Petani Bawang di Sragen : Libur Nataru Biasanya Panen Uang, Kini Menjerit, Harga Anjlok
Penambahan biaya itu untuk membeli racun tikus, maupun pengasapan yang harus dilakukan secara mandiri oleh para petani.
"Untuk mengurangi hama tikus, mau tidak mau harus diracun dan diasap, kalau jebakan listrik kami tidak berani," ucapnya.
Ia pun sendiri heran, darimana asal tikus-tikus tersebut, yang tidak pernah berkurang.
"Kalau penyebabnya tidak tahu, datangnya dari mana kami tidak tahu, kadang nggak ada lubangnya, tahu-tahu tanaman sudah hancur," paparnya.
Baca juga: Sebelum Petani di Sragen Ditemukan Tewas, Saksi Dengar Ada Suara Ledakan dari Kabel Listrik
Saking frustasinya, Suhari meminta bantuan kepada pemerintah, baik Provinsi maupun pemerintah pusat untuk menangani hama tikus ini.
"Karena kalau di pemerintah pusat ada yang namanya tim ahli, pasti tahu bagaimana cara mengatasi hama tikus ini, jadi untuk pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat mohon bantuannya," pintanya.
Tak hanya dialami Suhari, Sriyono yang merupakan warga Kecik, Tanon juga mengalami hal yang sama.
Bahkan, sebanyak 30 persen tanaman padi yang ditanam di sawahnya habis.
"Kalau panen terakhir 2021, sekitar 30 persen tanaman pagi habis dimakan tikus," kata Sriyono. (*)