Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pilpres 2024

Andai Gugatan Judicial Review Dikabulkan MK, Apakah Duet Prabowo-Gibran Terwujud? Ini Kata Pengamat

Menurut Ujang Komarudin, duet Prabowo-Gibran akan sulit terwujud di Pilpres 2024.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Instagram @prabowo
Gibran Rakabuming dampingi Prabowo Subianto di Kota Solo, pada Jumat malam (19/5/2023). 

TRIBUNSOLO.COM, JAKARTA - Analis Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin merespons soal wacana duet Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka,

Menurut Ujang Komarudin, duet Prabowo-Gibran akan sulit terwujud di Pilpres 2024.

Pasalnya, PDIP sebagai partai Gibran Rakabuming Raka akan melakukan perlawanan.

Baca juga: Wali Kota Solo Gibran Masuk 7 Tokoh Muda di Bursa Calon Gubernur DKI Jakarta, Ungguli Bima Arya

"Jadi kalau di politik mungkin mungkin saja tapi kemungkinannya kecil, walaupun gugatan judicial review dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Ujang, dalam keterangannya Kamis (1/6/2023).

Ujang Komarudin menanggapi wacana itu merespons judicial review yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK, khususnya, pasal 169 huruf q tentang batas minimal usia capres dan cawapres.

Gugatan yang dilayangkan PSI ini dinilai sebagai pintu untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi kandidat cawapres.

Sebab waktu gugatan berdekatan wacana Gibran disandingkan dengan Prabowo.

Baca juga: Tanggapi Kabar Ibas yang Bakal Jadi Cawapres Anies Baswedan, Gibran Sebut Cocok  

Ujang mengatakan, judicial review merupakan hak PSI.

Kata dia jika hal itu dikaitkan untuk membuka jalan bagi Gibran wajar saja lantaran PSI adalah pendukung Presiden Jokowi.

"Ya memang batas usia pencapresan sedang digugat oleh PSI, PSI kan Jokowi banget artinya ke Gibran lah dukungannya, ya saya melihatnya itu hak PSI untuk menggugat itu," ucap Ujang.

Meski demikian, Ujang mengapresiasi Gibran yang terlihat menolak menjadi cawapres karena belum cukup pengalaman maupun rekam jejak.

Menurut Ujang, Gibran memilih sikap bijak.

Baca juga: Ada 1.050 Kasus Stunting di Kota Solo, Gibran Tegaskan Komitmen Capai Zero Stunting

"Jadi yang di katakan Gibran bijak, seandainya gugatan itu diketuk palu oleh MK, Ketua MK nya adik iparnya Jokowi, maka Gibran pun belum cukup umur pengalaman dan sebagainya," ucapnya.

Ujang menambahkan, peta politik pasti akan berubah seandainya duet Prabowo-Gibran terjadi. Hal ini pun bakal merugikan PDIP karena dukungannya bisa terbelah.

"Pasti PDIP kan terpecah karena satu sisi dukung Ganjar, satu sisi Gibran juga kader PDIP, Jokowi juga kader PDIP itu juga pasti pecah dan itu berbahaya bagi PDIP kalau seandainya Gibran jadi," katanya.

"Seandainya skenario itu terjadi tentu akan mengubah landscape politik, bisa jadi yang dirugikan adalah PDIP karena PDIP pasti akan pecah dan kalau pecah pasti akan kalah, itu dinamika yang terjadi kedepan kalau Gibran dipasangkan dengan Prabowo," tandas Ujang.

Sebelumnya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI Francine Widjojo mengatakan, PSI memperjuangkan hal tersebut dengan mengajukan permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada Senin (3/4) telah disidangkan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

"Jangan kubur hak konstitusional 21,2 juta anak muda Indonesia usia 35-39 tahun untuk menjadi capres dan cawapres," katanya di Jakarta, Selasa (4/4).

Saat ini, Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengatur batas usia minimal sebagai capres dan cawapres adalah 40 tahun, padahal dalam kedua aturan UU Pemilu sebelumnya, yakni Pasal 5 huruf o UU Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 6 huruf q UU Nomor 23 Tahun 2003 persyaratan usia minimal capres dan cawapres adalah 35 tahun.

Lebih lanjut, Francine selaku kuasa hukum dari pemohon yang merupakan kader-kader muda PSI, yaitu Anthony Winza, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhail Gorbachev Dom itu menyampaikan PSI menilai ketentuan dalam UU Pemilu saat ini melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Kedua pasal tersebut, lanjut dia, mengamanatkan adanya persamaan kedudukan dan perlakuan bagi setiap warga negara Indonesia di mata hukum, sedangkan ketiadaan batas usia minimal bagi seseorang untuk menjadi menteri menunjukkan tidak adanya persamaan kedudukan dan perlakuan itu bagi mereka yang hendak menjadi capres-cawapres.

"Untuk menjadi menteri, tidak ada batas usia minimal. Menteri dapat melaksanakan tugas kepresidenan, seketika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan dalam masa jabatannya yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan demikian, ada potensi menteri yang belum berusia 40 tahun bisa melaksanakan tugas kepresidenan,” jelas Francine.

Berdasarkan hal itu, PSI lantas berpendapat ketentuan batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun harus dinyatakan inkonstitusional.

Sejauh ini, PSI menyakini banyak anak muda Indonesia yang memiliki kompetensi dan prestasi untuk menjadi capres-cawapres.

Francine mencontohkan anak muda Indonesia yang telah menunjukkan kompetensi dan prestasi sebagai pemimpin, di antaranya, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak dan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

"Banyak anak muda Indonesia yang sudah menunjukkan kompetensi dan prestasinya sebagai pemimpin daerah Indonesia seperti Emil Dardak dan Gibran Rakabuming Raka,” tandas Francine.

(*)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved