Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Nasional

Duduk Perkara Kerusuhan di Pulau Rempang Batam Versi Mahfud MD dan Warga

Mahfud MD menyampaikan hal itu, menyusul kericuhan yang pecah di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/9/2023).

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUNBATAM.ID/ROMA ULY SIANTURI/ISTIMEWA
Suasana unjuk rasa kedua di Kantor BP Batam, Senin (11/9/2023). Unjuk rasa menuntut kepastian lahan Rempang berlangsung ricuh. 

TRIBUNSOLO.COM, JAKARTA - Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan kronologi terkait polemik tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Mahfud MD menyampaikan hal itu, menyusul kericuhan yang pecah di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/9/2023).

Ditengarai, kerusuhan terjadi karena warga menolak terkait pemasangan patok di Pulau Rempang.

Baca juga: REKONSTRUKSI Pembunuhan Dosen UIN Solo : Digelar Besok, Sejumlah Saksi Dihadirkan

"Tapi masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah Rempang itu sudah diberikan haknya, oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha," kata Mahfud MD ditemui di Hotel Royal Kuningan Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).

Mahfud melanjutkan, sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok. 

"Sehingga pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati padahal, SK haknya itu sudah dikelurkan pada tahun 2001-2002 secara sah," kata Mahfud.

Mahfud MD mengatakan, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati.

"Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK)," jelasnya.

Kondisi terkini di Jembatan IV Barelang menuju Pulau Rempang dari Batam, Jumat (8/9/2023).
Kondisi terkini di Jembatan IV Barelang menuju Pulau Rempang dari Batam, Jumat (8/9/2023). (YouTube Kompas TV)

Lalu menurutnya, harus diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk.

"Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan," kata Mahfud.

"Tapi proses karena itu sudah lama, kan, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi.

Meskipun menurut hukum kan tidak boleh karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun," tegasnya.

Versi Warga

Melansir Tribunnews.com, sebelumnya sempat terjadi bentrok antara warga dengan polisi.

Kerusuhan itu pecah di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pecah, Kamis (7/9/2023) pagi kemarin di Jembatan 4 Barelang Batam.

Sedangkan duduk perkara bentrokan dipicu adanya warga yang menolak rencana pembangunan proyek nasional Rempang Eco City.

Buntutnya, warga dari belasan kampung adat di Pulau Rempang, Kecamatan Galang, terancam direlokasi dari tanah kelahiran mereka.

Total ada 10.000 warga dari 16 kampung adat dilaporkan terdampak Rempang Eco City.

Pada Juni 2023 lalu, perwakilan dari warga kampung adat Pulau Rempang menyampaikan keluhan mereka kepada Fraksi PKB DPR RI.

Mereka diterima oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PKB, Yanuar Prihatin dan Anggota Fraksi PKB Ratna Juwita di ruang Fraksi PKB, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/6/2023).

Rusli Ahmad sebagai perwakilan warga 16 kampung adat Pulau Rempang mengatakan pihak terancam dengan rencana relokasi warga dan berharap, hak-hak sebagai warga atas tanah bisa dipenuhi.

"Kami merasa terancam dengan rencana relokasi warga 16 Kampung Tua untuk kepentingan pengembangan industri dari pihak swasta. Kami berharap Fraksi PKB bisa membantu kami dalam memperjuangkan hak-hak kami atas tanah maupun hak untuk hidup dengan layak di tanah kelahiran kami," ucapnya.

Ia mengungkapkan, relokasi warga dari 16 kampung adat tersebut bisa berikan dampak negatif, seperti hilangnya pekerjaan ribuan kepala keluarga hingga potensi konflik horizontal di lokasi baru.

"Kami menyayangkan sikap pemerintah kota Batam yang seolah lebih berpihak kepada kepentingan swasta daripada kami sebagai warga mereka," katanya.

Rusli mengatakan, pihaknya tak menghalangi pengembangan industri, tapi ia meminta untuk pihak swasta mengelola tanah yang bukan tanah adat.

"Kami tidak menghalangi rencana pengembangan industri, toh kebutuhan lahan kami dari 16 kampung adat kami hanya sekitar 1.000 hektare, padahal pihak swasta mendapatkan izin mengarap lahan hingga 17.000 hektare. Kembangkan saja industri di 16.000 hektare di luar lahan kami," katanya.

(Tribunnews.com)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved