Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Viral

Sejarah Awal Mula Persoalan Lahan di Pulau Rempang Batam, hingga Kini 7.500 Jiwa Bakal Direlokasi

Kerusuhan di Pulau Rempang ini terjadi setelah warga menolak adanya proyek pengembangan kawasan ekonomi bernama Rempang Eco City di wilayah tersebut.

TRIBUNBATAM.ID/ROMA ULY SIANTURI/ISTIMEWA
Suasana unjuk rasa kedua di Kantor BP Batam, Senin (11/9/2023). Unjuk rasa menuntut kepastian lahan Rempang berlangsung ricuh. 

Pada awalnya, Barelang digadang-gadang bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya kawasan ini justru malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura.

Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otorita Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, kini berubah menjadi BP Batam. Badan inilah yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang.

Dibandingkan Pulau Batam yang ekonominya tumbuh pesat, perkembangan Rempang dan Galang memang lebih lambat. Namun kedua pulau ini mulai menggeliat terutama sejak dibangun Jembatan Barelang pada 1998.

Baca juga: Demo Warga Rempang di BP Batam Ricuh, Satu Polisi Terluka Kena Lemparan Batu

Awal mula konflik Pulau Rempang

Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001.

Kala itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha.

Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.

Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang.

Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.

Mengutip Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud MD.

Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.

“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.

Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.

“Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved