Nasib Baliho Kampanye di Tahun Politik
Pengepul Rosok Bukan Jawaban Atasi Sampah Baliho di Tahun Politik, Dibakar Jadi Masalah Baru?
Pengepul rosok ternyata bukan jawaban untuk mengatasi masalah baliho alias sisa alat peraga kampanye (APK) di tahun politik.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya | Editor: Adi Surya Samodra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha Candraditya
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Pengepul rosok ternyata bukan jawaban untuk mengatasi masalah baliho alias sisa alat peraga kampanye (APK) di tahun politik.
APK berupa baliho maupun banner kebanyakan tidak laku di tangan pengepul rosok karena tidak bisa didaur ulang.
Salah satu pengepul rosok, Aris Widodo mengungkapkan tidak ada gunanya menerima baliho sisa kampanye yang kebanyakan berupa banner-banner kecil.
“Kalau sisa kampanye tidak ada. Kalau seperti baliho tidak ada yang mau. Nggak laku kalau dirosok. Itu kan dilebur tidak bisa. Rontek itu dibuang. Minimal 2-3 meter baru laku,” ungkapnya, kepada TribunSolo.com.
Caleg Dapil 3 Banjarsari A yang juga menjabat Ketua DPD PKS Kota Solo, Daryono mengungkapkan pihaknya secara mandiri menurunkan APK terutama yang ada di jalan-jalan kecil.
Dari baliho dan banner yang diturunkan hampir semuanya dibuang begitu saja.
“Sebagian besar dibuang. Kebanyakan kecil, rusak juga. Ada yang mendaur ulang tapi mungkin persentasenya kecil,” jelasnya.
Caleg Dapil Laweyan yang juga Plt Ketua DPD PSI Kota Solo Sonny menjelaskan ia justru menghindari baliho dimanfaatkan kembali karena menurutnya rawan disalahgunakan.
“Semua kami buang. Jangan sampai ada yang disalahgunakan. Dipasang di warung dikira kampanye lagi,” tuturnya.
Baca juga: Perusahaan Periklanan Pesanan Parpol di Tahun Politik Punya Tanggungjawab Turunkan Baliho Kampanye?
Sedangkan untuk baliho besar yang dikelola oleh perusahaan periklanan masih berpotensi untuk dimanfaatkan.
Owner Gage Design, Bambang Nugroho menjelaskan baliho sisa iklan sering dimanfaatkan untuk alas di tempat pengungsian.
“Kita biasanya kita simpan. Misalnya ada bencana alam, masih bisa kita manfaatkan. Tidak dibuang,” jelasnya.
Ada pula yang memanfaatkannya menjadi alas kolam lele.
Namun sejauh ini untuk sisa baliho kampanye belum ada yang memanfaatkan untuk semacam ini.
“Ada sebagian untuk terpal lele. Ini belum. Tapi tetap kita simpan. Suatu saat ada kondisi darurat ada barang,” tuturnya.
Pembakaran Jadi Masalah
Pemerhati Lingkungan UNS Prof. Prabang Setyono mengusulkan peserta kampanye dibebani dana kontinjensi sebagai ganti atas dampak lingkungan yang ditimbulkan semasa kampanye.
Dengan jumlah Daftar Calon Tetap (DCT) DPRD Surakarta sebanyak 496 orang, jika diasumsikan tiap caleg menghasilkan sampah baliho 5 kg, maka setidaknya menghasilkan 2,48 ton sampah baliho.
Ini belum termasuk baliho pilpres, pemilihan legislatif DPD, DPRD Jawa Tengah dan DPR RI.
“Pernah disurvei di Jogja sampah APK 160 ton. Jika dibagi 3.443 kurang lebih per caleg 5.000-an. 1 caleg membebani lingkungan dengan 5 kg sampah, ya ini yang dikalkulasi,” tuturnya.
Biaya pengelolaan sampah, terutama sampah residu yang sudah bisa didaur ulang seperti baliho, memiliki biaya yang tinggi.
Mulai dari tenaga pengangkutan hingga penimbunan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Baca juga: Era Digital, Caleg di Solo Tetap Manfaatkan Baliho untuk Kampanye, Masih Efektif!
“Hal seperti itu seandainya diwujudkan lebih baik. Kalau sudah resmi mendaftarkan sebagai caleg otomatis dalam hitungan pengelolaan limbah memberikan kompensasi. Karena itu pasti dibebankan ke pemerintah daerah. Itu high cost. Mau tidak mau harus ada dana yang keluar,” jelasnya.
Sejauh ini belum ada yang bisa mendaur ulang sampah jenis ini. Akhirnya beberapa orang memilih untuk membakar sampah.
Alih-alih menyelesaikan, justru makin berdampak buruk untuk lingkungan.
“Tahunya secara pragmatis dibakar paling mudah. Membakar plastik beresiko. Kalau skalanya besar sampai ton-tonan bermasalah. 1 kg plastik membutuhkan sekitar 2 kg minyak bumi. Setara dengan itu padahal 1 kg minyak bumi terbakar menghasilkan sekitar 3 kg CO2. Membakar plastik sama dengan mengemisikan 3 kg,” paparnya.
Selain dibakar, pilihan lain dibuang ke TPA.
Sementara itu, TPA tidak selamanya bisa menampung sampah yang terus menumpuk.
“Dianggap sebagai sampah residu dibuang di TPA. Persoalannya TPA itu sudah overload. Ke depannya boleh kota atur agar manajerial yang efektif dan efisien bagaimana kalau kampanye orang yang punya uang semakin memberikan beban sampah semakin banyak,” jelasnya.
(*)
Nasib Baliho Kampanye di Tahun Politik
Pemilu 2024
Daryono
Baliho Kampanye
Pengepul Rosok
Sampah Baliho
| Sampah Baliho di Solo Diduga Capai 2,48 Ton, Asumsinya Tiap Caleg Cuma Hasilkan 5 Kg Sampah Baliho |   | 
|---|
| Timbulkan Berton-ton Sampah, Pemerhati Lingkungan Usulkan Peserta Pemilu Dibebani Dana Kontinjensi |   | 
|---|
| Era Digital, Caleg di Solo Tetap Manfaatkan Baliho untuk Kampanye, Masih Efektif! |   | 
|---|
| Sampah Baliho Kampanye Kebanyakan Tak Laku di Tangan Pengepul Rosok, Ini Alasannya |   | 
|---|
| Perusahaan Periklanan Pesanan Parpol di Tahun Politik Punya Tanggungjawab Turunkan Baliho Kampanye? |   | 
|---|

 
	
						 
							
 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.