Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Stigma Solo sebagai Sarang Teroris

Sesal Eks Napiter di Solo, Imbas Stigma Teroris Melekat, Tak Bisa Dampingi Tumbuh Kembang Sang Anak

Eks napiter di Solo ini menyesali di masa anaknya paling membutuhkan ia justru tidak hadir untuk mengawal tumbuh kembangnya.

TribunSolo.com
Ilustrasi aksi damai mengecam terorisme 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Tanpa pernah terlibat aksi teror, Muhammad Jundullah Islam Ash-Shiddiq divonis 3 tahun penjara meninggalkan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Akibat stigma yang terlanjur melekat, hingga kini ia kesulitan mencari pekerjaan untuk menghidupi anak dan istrinya.

Padahal, anaknya yang kini berusia 8 tahun membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk berobat dan terapi.

Ia memang sempat mengikuti kelompok “Pasar Klewer” yang bersimpati dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Tepatnya sempat mengikuti semacam latihan ketangkasan.

Namun, keraguannya terjun saat kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua pada 2018 silam membuat ia dikucilkan oleh kelompoknya.

Ia pun tak lagi menjalin komunikasi dengan kelompok tersebut.

“Waktu kejadian kerusuhan Mako Brimob sebenarnya sudah ada rencana buat amaliyah. Tapi beberapa orang di antara kelompok termasuk saya belum siap,” ungkapnya.

Baca juga: Dibalik Stigma Solo sebagai Sarang Teroris, Laskar-laskar Berhasil Berantas Peredaran Judi dan Miras

Setahun berselang tanpa bertegur sapa, lalu tiba-tiba bom meledak di depan Pos Polisi Kartasura, Sukoharjo.

Ia mengaku tidak mengetahui rencana aksi bom bunuh diri ini.

“Puncaknya di 2019 saya sama teman-teman ini tidak tahu apa-apa. Lima teman lainnya bergerak sendiri. Di situlah terjadi Bom Kartasura. Waktu itu saya masih kerja di salah satu resto. Saya di kitchen dikasih tahu salah satu teman saya kaget. Saya lihat videonya ternyata benar,” jelasnya.

Tak butuh waktu lama untuk membayangkan siapa pelakunya. Ia langsung mengecek ke rumah pelaku, Rofik Asharuddin.

“Saya langsung pulang saya memastikan ke rumahnya bernama Rofik. Saya ke sana ternyata benar. Selang 6 bulan saya diambil sama Densus 88 dengan tuduhan mengetahui tidak lapor,” tuturnya.

Tanpa pendampingan hukum yang memadai, ia menjalani proses hingga mendekam di penjara.

Di Rutan Cikeas Bogor 1 tahun, Polda Metro Jaya 1 tahun, hingga Lapas Magelang Kelas IIA 1 tahun.

Baca juga: Sejarah Panjang Kota Solo, Jadi Pusat Pergerakan Islam Hingga Terstigma Sarang Teroris

“Ada perasaan seperti itu (tidak adil). Saya dizalimi. Saya nggak ngelakuin apa-apa nggak ada perencanaan sama sekali tapi saya ditahan,” terangnya.

Ia yang menjadi tulang punggung keluarga harus menghabiskan hidup di balik jeruji besi tanpa pernah sekalipun dibesuk.

Bukan karena tak memiliki kesempatan. Ia tak ingin dalam kondisi ekonomi sulit justru memberatkan keluarga.

“Saya tahu kondisi keluarga saya istri sendirian. Saya nggak mau membebankan keluarga menghabiskan uang buat melihat saya. Saya mending dapat jatah video call. Satu bulan sekali. Saya lebih memilih itu uangnya buat keluarga aja,” tuturnya.

Hal yang paling ia sesali di masa anaknya paling membutuhkan ia justru tidak hadir untuk mengawal tumbuh kembangnya.

Ia membayangkan jika tidak karena mendekam di penjara, mungkin perkembangan anaknya tak selambat sekarang.

“Anak saya 8 tahun belum bisa ngomong, belum bisa berdiri, belum bisa pegang. Terapi satu bulan sekali. Tapi saya tiap hari terapi sendiri. Ada perkembangan cuma lambat. Seharusnya dulu berusia 3 tahun harusnya gencar-gencarnya terapi. 2,5 tahun tidak terapi sama sekali. Kesempatan berkembang menjadi lambat banget,” ungkapnya.

Program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) ternyata juga tidak cukup meringankan bebannya. 

“Saya pakai KIS buat ke rumah sakit. Cuma ada biaya tambahan. Buat obat yang tidak ter-backup oleh KIS. Setiap bulan Rp 1,5 juta,” jelasnya.

Ia sempat berusaha berjualan kebab berbekal keahlian memasaknya dulu. Namun membangun usaha tak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus rutin terapi anaknya dan hasil jualan yang terkuras untuk pengobatan.

Mencari pekerjaan ke orang lain lebih sulit lagi. Ia sampai dua kali dipecat. Bukan karena tak kompeten, tapi karena stigma yang terlanjur melekat.

“Sempat nyari kerja ketika udah diterima, udah kerja beberapa hari, orangnya tahu background saya langsung diberhentikan. Takutnya membawa dampak ke tempat kerja. Saya sampai 2 kali kerja ikut orang endingnya sama,” jelasnya.

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved