Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pasang Surut Wayang Orang Sriwedari

Perubahan Wayang Orang Sriwedari di Solo, Dulu Tonjolkan Indahnya Alur Cerita dan Diksi, Kini Visual

Berbeda dengan pementasan Wayang Orang Sriwedari yang kini lebih menonjolkan visual, dulu lebih banyak menekankan pada keindahan alur cerita dan diksi

TribunSolo.com/Anggorosani Mahardika
Pementasan dan penampilan Wayang Orang Sriwedari di Solo, Jawa Tengah, Rabu (28/8/2024) 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Budayawan ST Wiyono berkisah bagaimana ia sempat terlibat di Wayang Orang Sriwedari hingga mempengaruhinya dalam berkesenian di kelompok teater modern.

Menurutnya, seniman wayang orang memiliki tugas berat apalagi jika mengikuti standar seniman terdahulu.

“Di wayang harus bisa menari, ontowecono, nembang, mengerti gendhing. Dulu waktu saya masih di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) saya oleh rektor diminta dengan teman-teman membantu wayang orang menjadi pemain. Tapi kami tidak diterima dengan senyum, ramah, keikhlasan. Kami masih muda mereka cukup umur,” jelasnya, kepada TribunSolo.com, Rabu (28/8/2024).

Demi menjadi seorang pemain, ia harus rela menjadi figuran. 

Sebab untuk dipercaya memegang peran utama perlu waktu bertahun-tahun.

“Pertama menjadi bolopojok. Nggak ngomong apa-apa. Ikut peran figuran. Nanti lalu jadi tumenggung, bisa jadi patih, baru bisa jadi raja bertahun-tahun setiap malam,” tuturnya.

Salah satu yang menjadi tantangan yakni menguasai teknik berdialog ontowecono yang memiliki kompleksitas tersendiri.

Baca juga: Kisah Wayang Orang Sriwedari di Solo Jateng, dari Primadona Hingga Terpuruk Ditonton Bangku Kosong

Ilustrasi pemain Wayang Orang Sriwedari saat berdandan dan bersiap untuk pementasan
Ilustrasi pemain Wayang Orang Sriwedari saat berdandan dan bersiap untuk pementasan (TribunSolo.com/Anggorosani Mahardika)

Dimana tiap karakter memiliki khas cara bertutur kata.

“Punya kekhasan dalam dialog namanya Ontowecono. Itu yang tidak dimiliki teater barat. Ada tangga nada yang disusun para empu dulu. Ketika dialog tanpa konflik pun tidak membosankan. Ada melodi di dalam dialog,” ungkapnya.

Berbeda dengan pementasan Wayang Orang Sriwedari yang kini lebih menonjolkan visual, dulu lebih banyak menekankan pada keindahan alur cerita dan diksi.

“Kekuatan utama tidak sekadar di visual. Tapi di alur dramatikanya. Alur dramatikanya lebih tergarap. Dialog dan pilihan sastra lebih dikuasa orang tua. Anak muda lebih kepada visual,” jelasnya.

Ia sendiri masih berkesempatan satu panggung dengan Legendaris Wayang Orang Sriwedari, Rusman Harjowibakso yang dikenal sebagai pemeran Gatotkaca yang sangat fenomenal.

“Sangat menjiwai tokoh yang dia bawakan. Kesungguhan dia dalam mendalami tokoh saya kira belum ada tandingannya. Ketika sudah berhias yang muda masih dandan. Pak Rusman sudah jadi utuh. Saya melihat di kamarnya Pak Rusman di depan kaca ndingkluk sedikit mencoba masuk dalam karakter Gatotkaca. Bukan pura-pura tapi sungguh-sungguh menjadi Gatotkaca. Sampai kesurupan peran,” jelas ST Wiyono.

Bahkan saking fenomenalnya Rusman, dialog yang ia bawakan selalu ditunggu-tunggu. 

Tak kalah ramai sorak sorai saat adegan perang.

“Kalau nembang satu gedung tepuk tangan. Mau perang yang ditepuktangani bukan perang tapi debat ketika perang. Isian debat punya tangga dramatik dan isi yang berbobot,” ungkapnya.

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved