Jalan Panjang Lepas dari Adiksi Nasi di Lumbung Padi

Pemerintah daerah pun mengupayakan diversifikasi pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan terigu.

|
Penulis: Hanang Yuwono | Editor: Rifatun Nadhiroh
TribunSolo.com / Anang Ma'ruf
ILUSTRASI Suasana panen raya padi oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Telukan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Senin (30/10/2023). 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Hanang Yuwono

TRIBUNSOLO.COM, SOLO – Sabtu (14/12/2024) pagi hari itu hujan turun deras di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Seorang ibu rumah tangga bernama Suci Lestari (56) menghidangkan singkong  yang baru dia rebus dari sebuah periuk perak di rumahnya, di Desa Daleman, Nguter, Sukoharjo.

Kepulan asap memenuhi dapurnya seketika. Suci, panggilan akrabnya, bercerita, sudah setahun ini dia mencoba lepas dari ketergantungan nasi karena alasan kesehatan.

Dia kini terbiasa makan nasi sepiring kecil saban harinya. Kebiasaan itu lantas menular kepada sang suami.

“Sudah setahun lebih ini mengurangi makan nasi. Awalnya karena alasan kesehatan, tapi lama kelamaan malah terbiasa,” buka Suci kepada TribunSolo.com.

Pada mulanya dia mengurangi makan nasi karena alasan diet. Ia mendapat informasi dari tetangga, mengurangi nasi bisa membuat kurus sekaligus sehat.

Dia lantas melakukan diet nasi, menggantinya dengan singkong, kadang sukun atau ubi jalar. 

Tetapi menurutnya yang paling favorit adalah gembili. Gembili atau Dioscorea esculenta ini biasa dia beli di pasar tradisional atau alun-alun kota.

“Cita rasanya sekilas mirip ketan, meski lengket tapi cukup mengenyangkan. Sekali makan dua potong tidak perlu makan nasi lagi,” katanya.

Mencari gembili di Sukoharjo, Jawa Tengah, memang gampang-gampang susah. Tidak semudah mencari singkong atau ubi.

Sebab, gembili memang  biasa ditanam dalam jumlah terbatas karena ketersediaan bibit yang sedikit dan umur panen cukup lama mencapai 7-9 bulan.

Gembili, pangan lokal di Sukoharjo.
Gembili, pangan lokal di Sukoharjo. (TRIBUNNEWS)

Pemprov Jawa Tengah sendiri sebelumnya sudah melirik potensi pangan lokal uwi dan gembili. Mengingat, ketergantungan pada konsumsi beras dan terigu masih cukup tinggi di Jawa Tengah. Angkanya cukup tinggi hingga 91 persen pada 2020 lalu.

Pemerintah daerah pun mengupayakan diversifikasi pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan terigu. Mereka gencar mempromosikan konsumsi umbi-umbian, seperti garut, gembili dan uwi sebagai upaya kedaulatan pangan. Umbi-umbian itu bisa menjadi sumber prebiotik bagi warga Jawa Tengah.

Demikian halnya, juga talas sukun dan waluh adalah bukti keberagaman hayati di Jawa Tengah. Diharapkan dengan diversifikasi ini bisa mengurangi defisit impor gandum.

Suci kemudian mengisahkan tentang kebiasannya makan sayuran yang dia tanam di areal rumahnya. Cabai, buah naga, kelengkeng, rambutan, hingga jeruk dia tanam di lahan rumahnya.

Rumah yang dia bangun dulunya memang bekas kebun. Pohon pisang dan pepaya banyak tumbuh sendiri tanpa ada yang menanam.

Jika karbohidrat didapatkannya dari singkong hingga gembili, untuk kebutuhan sayuran terkadang dia memasak kembang pepaya atau bahkan jantung pisang. Dua sayuran itu menurutnya menjadi favorit untuk dihidangkan.

Suci sendiri mengakui ketergantungan terhadap nasi sudah mendarahdaging sejak dia masih kecil. Dia mengenang dulu kadang makan tiwul, bekatul dan kadang jagung pipil.

“Namun sekarang zaman sudah berubah. Dua makanan tadi sulit didapat, malah sekarang saat merasakannya lagi, rasa sudah berbeda. Jauh lebih enak nasi,” ucapnya sambil terkekeh.

Suci sendiri sudah berkomitmen mengurangi konsumsi dari nasi, meski untuk lepas dari adiksi nasi cukup berat baginya. Sebab harga bahan pokok selain beras, jika dihitung-hitung memang lebih mahal. 

Demikian halnya kata dia, selama ini orang-orang di sekitarnya menganggap singkong, gembili, ubi, tak lebih sekadar kudapan pengganjal perut.

Sementara itu, pengakuan berbeda dituturkan Nurjanah (45), tetangga Suci Lestari. Dia justru mengaku lebih sering makan mie instan ketimbang nasi. Terkadang dirinya memberi bekal anaknya yang masih sekolah menengah pertama dengan nasi campur mie.

“Mie instan lebih praktis dan kenyang. Apalagi pakai nasi,” ujar Nurjanah.

Begitulah realita sulitnya lepas dari nasi di wilayah yang masuk dalam zona lumbung padi di Indonesia. Apalagi di Sukoharjo, beras surplus lantaran banyak hamparan sawah.

Bupati Sukoharjo, Etik Suryani, mengakui jika Kabupaten Sukoharjo merupakan lumbung padi di Jawa Tengah. Dia bertekad mencapai swasembada pangan di Kabupaten Makmur.

“Agar surplus beras Kabupaten Sukoharjo dapat kita dipertahankan, kuncinya adalah kolaborasi antarstakeholder agar semua mempunya komitmen bersinergi agar kedaulatan pangan dapat tercapai. Swasembada pangan tidak bisa hanya dibebankan kepada petani, namun pemerintah, swasta, akademisi bahkan media massa ikut andil dalam pembangunan pertanian di Kabupaten Sukoharjo,” kata Etik dalam siaran pers yang diterima TribunSolo.com beberapa waktu lalu.

Namun, jumlah petani padi di Sukoharjo terus menurun. Terakhir klaim Etik, jumlahnya hanya 4,8 persen. Demikian halnya sawah mulai tergerus bangunan perumahan.

Belum lagi adanya ancaman bahaya akibat perubahan iklim,yang bisa membuat pertanian mengalami dampak paling serius. Lahan padi bisa gagal panen akibat curah hujan yang tinggi dan bisa berimbas pada produksi pangan.

 “Jumlah penduduk di Sukoharjo yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani hanya 4,8 persen dari jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Dengan persentase jumlah petani ini tentunya bukan hal yang mudah untuk tetap mempertahankan surplus beras di Kabupaten Sukoharjo,” ujar bupati.

Sriyanto (30) sumringah menunjukkan porang bernilai tinggi hasil tanamannya di Dukuh Kragilan, Desa Karangnongko, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Selasa (3/8/2021).
Sriyanto (30) sumringah menunjukkan porang bernilai tinggi hasil tanamannya di Dukuh Kragilan, Desa Karangnongko, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Selasa (3/8/2021). (TribunSolo.com/Tri Widodo)

Swasembada pangan di Sukoharjo menurut Bupati tidak melulu soal makan nasi. Di Sukoharjo sendiri singkong, ubi jalar, sagu, hingga porang bisa ditanam dan jadi alternatif pangan pengganti nasi.

Pemerintah daerah sudah menggenjot produksi porang di semua wilayah di Kabupaten Sukoharjo. Hal itu setelah meningkatnya permintaan pasar akan komoditas ini. Porang ditanam seluas 10 hektar di wilayah Dukuh Tritis, Desa Kamal, Kecamatan Bulu, Sukoharjo, semenjak tahun 2021 lalu. Selain itu, warga juga diminta memanfaatkan lahan kosong untuk menanam aneka umbi-umbian, selain sebagai sumber pangan, juga bisa menghadirkan nilai ekonomi.

Sayangnya, mengubah kebiasan makan nasi, tidak semudah membalikkan tangan.

Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Jamhari, mengingatkan adanya potensi krisis pangan di Indonesis. Sebab, saat ini masyarakat Indonesia kebanyakan tidak mengonsumsi hasil sendiri.

Tercatat, Indonesia adalah  importir gandum terbesar dunia sejak 2017, selain itu Indonesia juga mengimpor kedelai lebih dari 95 persen ,  yang mana pada tahun 2015 angkanya masih di 60 persen -70 persen . Jika panen padi gagal, Indonesia juga mengimpor beras.

Melansir dari laman kehati.or.id, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Renata Puji Sumedi Hanggarawati menyebut jika keberagaman merupakan jawaban sumber kebutuhan pangan lokal ke depan.

“Upaya untuk kembali ke sumber pangan lokal harus ditingkatkan. Keragaman sumber pangan nusantara merupakan jawaban terhadap permasalahan kelaparan, gizi buruk, termasuk perubahan iklim,” kata Renata.

Renata melanjutkan, sebetulnya Indonesia memiliki keragaman sumber pangan yang sangat tinggi. Menukil laporan Badan Pangan Nasional pada 2022, KEHATI mencatat jika Indonesia menempati urutan ketiga dalam keanekaragaman hayati, dengan kekayaan 77 tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis biji-bijian, 389 jenis buah-buahan, 228 sayuran dan 110 bumbu dan rempah-rempah, serta 40 macam bahan minuman. 

Tetapi faktanya, Indonesia belum memenuhi syarat ketahanan pangan. Indonesia pada 2022 lalu menempati peringkat 63 dari 113 negara di dunia, menurut Indeks Ketahanan Global The Economist. Bahkan Indonesia tertinggal jauh dari Singapura.

Di Indonesia, ketergantungan terhadap beras masih sangat tinggi. Menurut catatan KEHATI, rata-rata konsumsi beras pada rumah tangga sebesar 94,9 kg per kapita per tahun pada 2019. Sekitar 2,5 juta ton beras per bulan dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi 270 juta jiwa penduduk Indonesia berdasarkan laporan Badan Ketahanan Pangan 2020. 

Selain itu, ketergantungan pada beras bisa berdampak pada tingginya impor sehingga membuat harga beras terus melonjak, sampai ke daerah terpencil. Pergeseran pola konsumsi ini meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap beras.

Masyarakat Jawa Tengah dianugerahi beragam sumber karbohidrat, seperti singkong, jagung, dan umbi-umbian yang bisa diolah menjadi berbagai makanan.

Hal itu diamini Puji Sumedi Hanggarawati. Menurut dia, masyarakat Indonesia harus mengubah mindset belum kenyang kalau belu makan nasi. Dia mewanti-wanti agar pemanfaatan pangan lokal selain beras tidak dihilangkan.

 “Ketika pangan lokal ini hilang, maka budayanya juga hilang, dan keanekaragaman hayati akan terancam,” kata Puji dikutip dari laman siej.or.id.

KEHATI memberikan gambaran, apabila masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi beras satu hari dalam seminggu, lalu menggantinya dengan pangan lokal lain, maka terjadi penghematan hingga 3,37 ton beras dalam setahun. Dampak positifnya, ini bisa mengurangi ketergantungan negara terhadap impor.

Potensi Pangan Lokal di Sukoharjo dan Perannya Atasi Stunting

Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, mengungkapkan Sukoharjo punya banyak potensi bahan pangan lokal. Misalnya pisang, buah turi, inti batang pelem, kelor, belimbing, dan banyak lagi lainnya. 

Pangan alternatif tersebut bisa menjadi solusi tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting, dan obesitas. Anak-anak bisa dibiasakan tidak adiksi terhadap nasi semenjak kecil. 

Ahli Gizi RS Panti Waluyo, Ani Kristiasih, kepada TribunSolo.com beberapa waktu lalu mengungkapkan, terutama untuk siswa SD, gizi seimbang sangat penting bagi tumbuh kembangnya. Seorang anak bisa memaksimalkan potensinya jika asupan gizi terpenuhi.

“Gizi anak usia SD 7-12 tahun. Kalau kebutuhannya tercukupi, bisa berkembang secara optimal. Pembelajaran bisa menangkap lebih cepat, bisa menunjang prestasi. Kalau kekurangan gizi akan berpengaruh pertumbuhan dan perkembangannya,” ungkapnya. 

Dalam satu porsi makanan setidaknya memenuhi sejumlah unsur agar bisa seimbang. Yakni karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan serat.  Selain itu, pengaturan pola makan juga penting untuk membentuk kebiasaan baik.

“Anak sekolah harus makan minimal 5 kali, makan pagi, selingan, makan siang, selingan, makan sore. Tiap makan mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral, juga serat,” jelasnya.

Pangan lokal yang ada di Sukoharjo seperti jagung, singkong, uwi, gembili, porang, sukun, waluh, atau ubi bisa menjadi sumber karbohidrat pengganti nasi. Telur sebagai protein hewani, oseng tempe sebagai protein nabati, sayur bayam sebagai mineral. Melalui bekal sehat berbasis pangan lokal yang disiapkan, anak dapat lebih terjamin keseimbangan gizinya jika dibandingkan membeli di warung makan.

“Bekal makanan itu menunjang gizinya anak. Sekolah kan pulangnya siang. Bekal makanan ditujukan kepada anak agar gizinya tercukupi di jam sekolah,” terangnya.

Sementara itu soal memberikan bekal mie kepada, ahli gizi tidak menyarankan. Terlebih jika hanya roti dan susu.

“Menyiapkan lauk pauknya minim. Misalnya nasi lauknya mie. Ada juga tidak suka lauk hanya roti ditambah susu kental manis. Proteinnya kurang,” jelasnya.

Jawa Tengah memang tersohor sebagai lumbung pangan nasional. Produksi padi di Jawa Tengah melimpah, demikian pula halnya dengan sumber daya pangan lokal. Alih-alih mengonsumsi produk olahan terigu yang merupakan komoditas impor, sudah saatnya masyarakat memanfaatkan kenakeragaman hayati pangan lokal di tanah air sendiri.

Perlu adanya peran aktif pemerintah daerah dan pusat untuk mengkampanyekan hal ini, demikian kesadaran masyarakat akan potensi pangan lokal di tempat tinggalnya masing-masing demi mencapai kedaulatan pangan. Jangan sampai ketergantungan kepada beras, membuat masyarakat akhirnya malah terjebak pada aneka olahan gandum yang merupakan sumber pangan impor.

Selain itu, perlu diingat jika komoditas padi di Indonesia cukup rapuh. Sudah sering rakyat harus kelimpungan karena lonjakan harga beras. Di samping itu, perubahan iklim juga membuat petani acapkali kesulitas mengakses beras demi kebutuhannya.

Harga beras naik dan akses sulit tersebut seringkali terjadi lantaran anomali cuaca El Nino dan perbedaan temperatur permukaan air laut yang jadi malapetaka bagi para petani, karena membuat mereka gagal panen. 

“Menilik sejarah dan menjalankan amanat undang-undang no 18 tahun 2012  tentang Pangan, pemerintah perlu  menerapkan regionalisasi sistem pangan dan sumber keragaman sumber pangan lokal – yang secara alami telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan secara budaya menjadi sumber pangan masyarakat dan kedaulatan sumber pangan daerahnya,” begitulah pesan Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Renata Puji Sumedi Hanggarawati, di laman resminya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved