Lensa Penyelamat Macan Tutul Jawa, Pangeran Hutan yang Kian Tergusur Peradaban dan Modernisasi
Punahnya Harimau Jawa membuat belantara hutan Jawa pun otomatis dikuasai predator puncak selanjutnya, yakni Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas).
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNSOLO.COM - Tangan Ignas Dwiwardhana terus memegang handle besi motor bebek yang ditumpanginya. Sementara sang rekan, Mas Untung berada di balik kemudi motor.
Terpaan angin menghantam wajah pria kelahiran Jakarta itu sepanjang perjalanan dari Banyuwangi menuju ruas jalan ke arah Situbondo, Jawa Timur di penghujung Desember tahun 2023.
Gas motor itu seolah tak diperbolehkan beristirahat. Terus digeber sekencang-kencangnya selama 50 menitan melewati jalanan yang kurang bersahabat. Sebab, kondisi jalan rusak lantaran adanya perbaikan jembatan di arah yang mereka tuju.
Apa yang membuat mereka segitu terburu-burunya? Bukan urusan buang hajat, melainkan keduanya enggan melewatkan momen langka mengabadikan satwa yang terancam punah, yakni Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas).
Ignas Dwiwardhana yang berprofesi sebagai Fotografer Satwa Alam Bebas memang memiliki passion mengabadikan satwa-satwa asli Indonesia, terutama mereka yang terancam punah, khususnya Macan Tutul Jawa.
Kembali ke satu jam sebelumnya, dering gawai di kantong celananya mengagetkan Ignas, begitu ia disapa.
Pesan WhatsApp kawan mengabarkan adanya pencari telur semut (kroto) yang kaget melihat monyet-monyet ketakutan tunggang langgang di pepohonan. Dalang keributan itu ternyata si kucing besar bertutul.
Sesampainya di lokasi (dirahasiakan demi keamanan macan tutul jawa dari perburuan liar, - red) dan bertemu kawan pemberi kabar, Ignas dan Mas Untung masih harus merambah hutan belantara sejauh 2 kilometer.
Guguran dedaunan menyambut kehadiran ketiganya. Sepanjang mata memandang, tumbuhan bisa dibilang cukup jarang karena musim kemarau belum berganti ke penghujan. Semak belukar kering yang kerap terlihat pada film dokumenter di wilayah Afrika jadi pemandangan umum.
Meski waktu sudah berlalu cukup lama sejak pesan masuk, Ignas optimistis mampu menyaksikan sang Pangeran Hutan, begitu dia memberi julukan kepada. Macan Tutul Jawa. Bukan tanpa alasan, optimismenya datang dari kebiasaan atau perilaku (behaviour) macan tutul yang mampu menghabiskan waktu berjam-jam berdiam di atas pohon sebelum akhirnya turun lagi.
Kebetulan selepas menerkam satu ekor monyet, macan tutul satu ini memang berdiam di atas sebuah pohon Asem yang cukup besar. Di bawahnya ada sungai yang tampak kering.
"Nah itu macan tutulnya di atas sana. Aman, masih ada. Lagi tidur macannya," kata pria pemberi kabar kepada Ignas.
Lensa tele kamera dalam genggaman Ignas langsung diarahkan ke macan tutul jawa ini. Setengah tertawa, Ignas membalas pernyataan kawannya itu.
"Tidur darimana, itu macannya lagi melihat kita sambil mangap-mangap (membuka mulutnya)," timpal Ignas.
Tanpa buang waktu, Ignas menjepret momen itu. Tampak sang Pangeran Hutan merebahkan badannya di dahan pohon, sambil terengah-engah, mungkin karena panasnya cuaca. Dan lagi, macan itu rebahan bukan di dahan pohon yang besar, tapi kecil. Ini pun menimbulkan ketakjuban dalam diri Ignas.
Mengenal Macan Tutul Jawa si Nomor 2 di Hutan

Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica) atau yang sering disebut Raja Hutan telah dinyatakan punah di sekitar 1980-an. Belantara hutan Jawa pun otomatis dikuasai predator puncak selanjutnya yang tak lain adalah Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas).
Subspesies dari macan tutul ini merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa dan hanya bisa ditemukan di hutan tropis, pegunungan serta kawasan konservasi.
Kekhasan macan tutul jawa terlihat dari ukuran tubuhnya yang paling kecil dibanding macan tutul lainnya. Warna kulit hewan ini ada yang berwarna terang jingga dan hitam. Macan tutul jawa hitam ini kerap disebut juga sebagai macan kumbang. Adapun mereka yang memiliki warna kulit jingga memiliki tutul hitam dengan pola mirip bunga mawar. Selain itu, bola mata mereka berwarna abu-abu keperakan, sedangkan macan tutul subspesies lainnya memiliki bola mata berwarna kuning.
Mangsa utama macan tutul di alam adalah mamalia seperti kijang, rusa, babi hutan, kancil, dan primata seperti monyet ekor panjang, lutung, owa, surili dan rek-rekan. Namun, macan tutul juga oportunis, atau mau memakan satwa apa saja yang mudah didapatnya, misalnya tikus, trenggiling, musang, burung, bahkan landak.
Hewan yang hidup secara soliter kecuali musim kawin ini berstatus konservasi terancam sejak tahun 2021 di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I. Lantas berapakah jumlah macan tutul jawa yang tersisa?
Prof. Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si selaku Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan survei menyeluruh terkait macan tutul jawa di seluruh Pulau Jawa sedang dilakukan.
Survei ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan SINTAS, Formata (Forum Konservasi Macan Tutul Jawa) dan didukung Djarum Foundation. Hanya saja hingga saat ini jumlah dan sebaran terkini belum dirilis datanya.
Namun demikian, kepunahan macan tutul jawa di beberapa lokasi nyata adanya jika tak ada perubahan. Penyebabnya tak lain karena habitatnya yang tidak lagi sesuai imbas dari luasannya berkurang atau hilang (Habitat Loss).
Belum lagi macan tutul (jantan) merupakan satwa yang bersifat teritorial, artinya memiliki daerah jelajah (home range) yang dipertahankan dari jantan lain untuk keperluan mencari mangsa dan kawin. Setiap individu macan tutul jawa membutuhkan luasan tertentu untuk home range yang luasannya tergantung dari kelimpahan mangsa.
"Semakin melimpah mangsa, maka semakin sempit jelajahnya. Hasil beberapa penelitian memperkirakan setiap individu macan tutul jawa membutuhkan luasan habitat 600-1.000 hektar per ekor," kata Hendra, kepada TribunSolo.com, Sabtu (4/1/2025).
"Belum lagi modernisasi, seperti pembangunan jalan tol dan kawasan perumahan, memperparah fragmentasi habitat dan mengisolasi populasi macan tutul, yang meningkatkan risiko inbreeding dan penurunan genetik," imbuhnya.
Hal senada juga diungkap Rheza Maulana, S.T., M.Si yang merupakan salah satu narasumber acara Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia.
Perubahan iklim, deforestasi, perburuan, dan perdagangan mengancam keanekaragaman hayati. Dalam kasus macan tutul jawa, deforestasi paling relevan. "Imbasnya meningkatkan resiko penurunan populasi hingga kepunahan di alam," kata Rheza.
Di sisi lain, Hendra menyayangkan kebanyakan orang tidak menyadari bahwa macan tutul jawa memiliki peran penting di dalam ekosistem hutan, sebagai puncak rantai makanan yang mengendalikan populasi satwa mangsanya. Peran penting ini juga membuat macan tutul disebut sebagai 'spesies kunci' dalam keseimbangan ekosistem.
Dengan memakan satwa-satwa yang menjadi mangsanya seperti monyet, babi hutan, hingga tikus, sesungguhnya macan tutul memiliki peran penting mengendalikan populasi satwa yang berpotensi menjadi hama bagi pertanian dan sangat merugikan.
Kebiasaan macan tutul yang menyeleksi target mangsanya dengan memangsa yang lemah, secara langsung menjaga kesehatan manusia. Andaikan satwa yang sakit di alam telah habis dimakan oleh macan tutul, maka satwa yang sedang menderita suatu penyakit (seperti rabies, flu, pes, atau cacar) akan terputus rantai penularannya dengan dimangsa oleh macan tutul.
"Tetapi ketika suatu ekosistem telah kehilangan pemangsa puncak seperti macan tutul, maka satwa-satwa yang berpenyakit itu akan berkeliaran mendekati permukiman manusia, karena lemah sehingga sulit mencari makan di habitat alaminya. Bukan tak mungkin loncatan penularan penyakit dari satwa ke manusia (zoonosis) menjadi semakin cepat dan mudah dan bisa menjadi wabah atau keadaan luar biasa bahkan pandemi," kata Hendra.
Sulitnya Mendeteksi Pangeran Hutan

Memotret Macan Tutul Jawa bukan perkara mudah, beda dengan Macan Tutul Afrika dan India yang sudah sangat biasa diabadikan oleh khalayak luas, karena keaslian habitatnya masih cukup terjaga.
Selain habitatnya yang makin sempit dan menghilang akibat peradaban dan modernisasi oleh manusia, banyak faktor lain yang memperumit usaha memotret satwa endemik Jawa ini. Bahkan, hanya segelintir orang yang mampu memotret Macan Tutul Jawa secara langsung (live photography) seperti Ignas, bukan dengan kamera jebakan (trap cam/trail cam).
Salah satu faktor itu disebabkan macan tutul adalah mamalia. Mamalia memiliki penciuman dan penglihatan yang luar biasa tajam, hingga jangkauan pendengaran yang luas.
Hal ini berbeda ketika kita hendak memotret burung, yang dibutuhkan hanyalah kamuflase karena burung memiliki penglihatan luar biasa namun penciuman tidak tajam.
"Tapi ketika memotret macan tutul, kita nggak boleh pakai wewangian atau bau yang tajam, arah angin datang dari mana pun harus dipikirkan," kata Ignas.
Meski tergolong hewan adaptif dengan kondisi hutan yang kian menyempit, macan tutul termasuk sulit terdeteksi keberadaannya. Terkadang pencarian berdasarkan jejak kaki, bekas cakaran di pohon hingga feses (kotoran) tidak membuahkan hasil.
Kecenderungan macan tutul yang menghindari perjumpaan dengan manusia hingga luasnya cakupan hutan belantara di Jawa lantas diakali dengan cara berburu foto saat puncak musim kemarau.
Sungai mengering hingga debet air yang hanya tersisa sedikit membuat kucing besar ini mencari kubangan-kubangan air untuk melepaskan dahaga akibat panasnya cuaca.
"Bagi kami cara termudah yaitu menunggu di tempat mereka minum. Kita survei dimana ada lubang air. Puncak kemarau sendiri beda tergantung lokasi, ada yang September, ada Oktober," ucapnya.
"Yang kita perhatikan debet air. Kalau sudah surut, nah ini kemungkinan besar (macan tutul) datang. Otomatis kita menunggu di situ, berkamuflase, bahkan mandi tanpa sabun. Jadi meminimalisir gangguan lain yang membuat macan tutul waspada," imbuhnya.
Mau tak mau, sebagai salah satu binatang yang aktif di malam hari (nocturnal) membuat proses pemotretan 95 persen dilakukan oleh Ignas saat matahari telah bersembunyi di ufuk barat. Hunting foto di siang hari, diakuinya bisa dihitung menggunakan jari.
Baca juga: Geger Jejak Kaki Diduga Macan Tutul di Jenar Sragen : Wujudnya Masih Misterius, Tapi Warga Ketakutan
Selepas petang, kegelapan total menyelimuti hutan. Kesunyian terkadang hadir sesaat sebelum suara bermacam-macam satwa silih berganti terdengar. Mulai dari suara burung hantu, merak, kijang muncak, hingga suara bajing terbang dan luwak yang membuat bulu kuduk berdiri.
Namun, suara serangga menjadi tantangan tersendiri bagi Ignas. Suaranya memabukkan di tengah kegelapan hingga membuatnya terpanggil ke alam mimpi. Tentu rasa kantuk hadir juga dikarenakan kelelahan yang menyerang.
Pekerjaan rumah lain hadir dengan pihaknya menghindari perburuan momen ini tatkala bulan purnama tiba. Fenomena full moon membuat satwa buruan macan tutul jawa bersembunyi dan suasana sepi. Otomatis persentase kemunculan Panthera Pardus Melas menipis. "Ketika kamu di hutan pas bulan purnama, ya kamu seperti disorot lampu. Itu nanti sulit lagi motretnya. Jadi bulan matilah buat foto," kata dia.
Trik pun digunakan agar bisa memotret Macan Tutul Jawa di kegelapan. 'Flash is forbidden'. Justru senter-lah senjata pendamping dari lensa kamera selaku senjata utama.
Demi mencegah kagetnya sang objek foto, Ignas memposisikan senter seperti sorot bulan. Di mana senter diarahkan dari atas secara perlahan turun menuju macan tutul jawa tersebut.
"Kita senterin dari atas dulu, turun pelan-pelan, terus baru foto dengan kecepatan rendah, dengan harapan dapat 1 atau 2 foto bagus. Sampai macan sudah sangat terbiasa, dia bisa tidur di depanku, jaraknya 25 meter," jelasnya.
"Tapi kelemahannya karena kecepatan fotonya rendah banget maka perlu tripod. Dan ketika macan tutul jawa ini bergerak, ya goyang gambarnya alias blur," tambah Ignas.
Misteri 'Orang Terpilih', Pertemuan Sarat Nuansa Mistis

Perjumpaan atau encounter dengan Macan Tutul Jawa tak bisa disebut kebetulan belaka. Hanya 'orang terpilih' yang memang akhirnya bertemu dengan Pangeran Hutan ini secara empat mata.
Konon, hal-hal berbau mistis dan gaib juga ikut andil serta bersinggungan. Seperti yang dialami Rendra Kurnia, kolega Ignas yang juga sama-sama 'gila' untuk mengabadikan potret Macan Tutul Jawa.
Di tahun 2018 silam, tiba-tiba Rendra bertemu dengan sesosok orang tua dalam mimpinya. Yang kemudian hari diketahuinya bahwa dia telah didatangi orang lewat mimpi. Kalimat dari simbah-simbah ini terus terngiang-ngiang di kepala Rendra.
"Kalau kamu mau nyari aku, ketemu," kata simbah-simbah ini dalam mimpi kepada Rendra.
Kisah ini diceritakannya ke Ignas yang berujung keduanya berencana memotret macan tutul bersama. Tapi karena suatu dan lain hal, rencana ini urung terjadi. Ternyata saking ngebetnya Rendra memotret Panthera Pardus Melas ini, dia nekad berangkat hunting foto tanpa ditemani siapapun.
365 hari berlalu, Rendra kembali bertemu Ignas dan menceritakan pengalamannya kala itu yang berujung mistis. Pasca berhasil memotret macan tutul jawa, masih segar dalam ingatannya Rendra memutuskan untuk merokok.
Api dari koreknya diarahkan ke rokok yang sudah berada di ujung mulut. Seketika, ada orang tua yang mendatanginya. Orang tua ini meminta api kepada Rendra. Pikirnya, hendak 'sebat' juga bapak ini.
Tapi pertanyaan yang terlontar dari bapak ini membuatnya tercengang seketika. "Sudah ketemu to?" tanya orang tua itu. Rendra masih belum sadar dan fokus memasukkan korek apinya ke kantong celana.
Bulu kuduknya serempak berdiri, teringat mimpinya beberapa waktu lalu. "Kok pertanyaannya seperti itu ya?" tanyanya dalam hati. Saat itu juga dia menoleh ke arah orang tua itu berjalan, tapi raga bahkan bayangannya sudah sirna bak ditelan bumi.
Rendra menyimpulkan orang tua ini adalah tanda bahwa dirinya 'direstui' berjumpa dengan macan tutul jawa. Sejak saat itu, Rendra menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal terkait macan tutul jawa.
Kesaksian ini dibenarkan Ignas. Pernah dia, Rendra dan dua orang lainnya berniat memotret macan tutul jawa. Itu adalah kali pertama Ignas berhasil bertemu dengan Pangeran Hutan. Gerak-gerik Rendra kala itu masih membuat Ignas bertanya-tanya.
Saat itu, Ignas enggan merokok lantaran takut baunya tercium macan tutul jawa dan membuat harapannya bertemu pertama kali pupus. Sebaliknya, Rendra dengan pedenya merokok dan menyarankan Ignas untuk merokok saja karena masih lama Pangeran Hutan itu datang.
"Merokok saja mas, masih lama ini datangnya," kata Rendra sambil meniup sisa asap rokok dari mulutnya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan di tengah malam yang gelap gulita di hutan, Ignas melihat Rendra tiba-tiba menyundut rokoknya ke tanah. Setengah berjongkok, Rendra mendekati Ignas dan berbisik. "Mas, sedelet meneh macanne teko (sebentar lagi macannya datang), dari sana," kata Rendra dengan lirih dan menunjuk suatu arah.
Benar saja, tak berapa lama macan tutul jawa itu melangkah keluar dari semak-semak menuju kubangan air untuk minum. Setelah jepretan demi jepretan, macan itu pun beranjak pergi.
Ignas pun langsung menghampiri Rendra dan bertanya mengapa bisa mengetahui kedatangan kucing besar itu berikut arahnya. Jawaban Rendra membuatnya tambah bingung.
"Lha tadi kan kedengeran suara napasnya to mas," kata Rendra, yang membuat tiga orang di sana mengeryitkan dahi. Ketiganya bersumpah tidak ada yang mendengar suara apapun selain keheningan di seluruh penjuru hutan.
Ignas juga menyebut tanpa kemurahan dan bantuan dari alam semesta mungkin dirinya tidak akan bisa mengabadikan macan tutul jawa via lensa. Terkadang ada perasaan, semacam firasat yang tak bisa ia jelaskan secara gamblang perihal bisa tidaknya berjumpa dengan predator ini.
"Setelah lama melakukannya (berusaha memotret macan tutul jawa), ada feeling sendiri akankah macan tutul ini datang atau tidak. Ini nggak bisa dijelasin. Ketika saya merasa itu datang, ya datang beneran. Sebaliknya kalau merasa nggak datang, ya nggak datang juga," tutur Ignas.
"Kadang pertemuan atau encounter dengan mereka itu juga tidak terlepas dari kemurahan alam semesta. Selain berusaha, ya tentu alam mengizinkan nggak nih," imbuhnya.
Fotografi Bisa Ikut Menyelamatkan Alam dan Satwa
Terancam punahnya Macan Tutul Jawa disikapi beragam oleh pemerhati keanekaragaman hayati. Upaya penyelamatanpun dilancarkan bertubi-tubi. Termasuk Ignas dengan lensanya.
Ya, pengabadian potret macan tutul jawa yang masih sangat minim, terutama yang menggambarkan perilaku di habitatnya, jadi cara Ignas untuk menyelamatkan sang Pangeran Hutan.
Pria yang berdomisili di Yogyakarta ini mengakui fotografi adalah passion-nya, bukan sekedar hobi. Dan dia terjun menangkap momen satwa-satwa di alam bebas karena ingin mengikuti jejak dari Riza Marlon, seorang fotografer alam liar Indonesia. Aksinya bersama Riza Marlon dirasakannya memicu lebih banyak fotografer ikut terlibat dan lebih aware terhadap satwa-satwa di Indonesia. Ignas pun kian mantap melangkah di jalan ini.
Ada momen menggelitik di benaknya saat sejumlah orang berkomentar ketidaktahuannya terkait nama-nama satwa di Indonesia. Ignas juga spontan berteriak ‘Oh My God’ saat foto Tarsius, mamalia bermata besar disebut Koala oleh salah satu orang. Pun demikian tatkala Ignas mengunggah jepretan Macan Tutul Jawa miliknya, ada yang kaget lantaran tak mengetahui Panthera Pardus Melas ini masih eksis di hutan belantara Jawa.
Menurutnya, pendokumentasian Macan Tutul Jawa bisa menjadi langkah awal untuk mengedukasi masyarakat terkait terancam punahnya hewan ini. Diharapkan, masyarakat akan turut serta membantu menjaga alam sekitar yang berimbas pada keberlangsungan hidup predator puncak di Pulau Jawa tersebut.
"Menurutku ini penting, nggak banyak orang tahu. Jadi ini bisa jadi momen reintroduksi atau mengenalkan kembali ke masyarakat supaya orang tahu macan tutul jawa ini dilindungi, ini harta nasional. Itu penyeimbang alam dan ekosistem," kata dia.
"Edukasi ini penting dan lebih bagus lagi disertai foto yang baik dari sisi fotografis dan perilakunya. Ini wajib diperkenalkan kembali, kebanggaan Jawa sebagai suatu satwa yang diprioritaskan secara nasional," tegasnya.
Upaya menyelamatkan satwa lewat lensa ini diapresiasi dan didukung oleh Hendra Gunawan yang juga merupakan peneliti macan tutul. Kegiatan memotret itu disebut merupakan bentuk manfaat ekonomi yang diberikan oleh jasa ekosistem (ecosystem services), khususnya yang ditimbulkan oleh keberadaan macan tutul. Ketika para fotografer ini berburu foto, mereka juga ikut menyumbangkan sejumlah hal. Mulai dari membayar tiket masuk kawasan hutan tertentu, hingga turut andil menyebarkan eksistensi satwa yang terancam punah ketika foto tersebut dipublish.
Namun, Hendra mengingatkan bahwa kegiatan fotografi alam liar sebagai bagian dari wildlife tourism atau ecotourism, perlu dikelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif pada satwa liar. Sebisa mungkin jangan sampai kehadiran aktivitas fotografi mengganggu atau membatalkan proses kawin satwa sehingga gagal bereproduksi.
“Selain itu, minat berburu satwa untuk mendapatkan kepuasan, kebanggaan atau tujuan ekonomi, seharusnya dapat dialihkan dengan aktivitas berburu foto satwa tersebut. Ini bisa menjadi terobosan dalam upaya konservasi satwa, dengan pengaturan ketat dan pengelolaan yang baik, tentunya,” kata Hendra.
Di sisi lain, Hendra menilai pelestarian macan tutul jawa akan sangat terbantu ketika kelompok masyarakat yang secara sosial kultural memperlakukan macan tutul sebagai satwa yang memiliki kharisma, sehingga ‘dihormati’ dan dijaga, serta menghindari berkonflik dengan macan tutul.
Berdasarkan pengalamannya, ada yang menganggap Macan Tutul Jawa kedudukannya sama dengan Harimau Jawa (di alam sendiri macan tutul jawa menggantikan posisi harimau jawa yang punah), sehingga seringkali masyarakat tidak membedakan sebutannya, mereka tetap menyebutnya sebagai macan atau harimau saja.
Adapula yang menganggap macan tutul atau macan kumbang sebagai ‘titisan’ atau jelmaan leluhur yang sangat dijunjung dan dihormati. Sehingga bisa dikatakan Macan Tutul Jawa bukan hanya satwa pemangsa puncak yang menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga simbol budaya yang kaya.
“Persepsi dan sikap seperti ini sangat membantu upaya konservasi. Nilai ini membuat keberadaan macan tutul tidak hanya penting secara ekologis tetapi juga sebagai bagian dari warisan budaya Jawa,” jelasnya.
Akankah lensa ini benar-benar menjadi penyelamat Macan Tutul Jawa dari kepunahan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, harapan terbentang lebar jika menilik upaya banyaknya fotografer yang ingin mengabadikan potret sang Penjaga Hutan. Semoga predator puncak pengganti si loreng ini kembali memenuhi Tanah Jawa.
(*)
Macan Tutul Jawa
Ignas Dwiwardhana
Situbondo
National Geographic Indonesia
Yayasan KEHATI
Forum Bumi
Pria di Bantul Gondol 1 Slop Rokok Tiap Hari Selama 3 Bulan dari Toko Grosir, Terkumpul Ratusan Juta |
![]() |
---|
Viral Video Pemukulan Siswi SMA oleh Kakak Kelas di Situbondo, Polisi: Orangtua Korban Tak Terima |
![]() |
---|
Bocah 4 Tahun di Situbondo Tenggelam, Ditemukan Tewas di Sungai Desa |
![]() |
---|
Viral Truk Bermuatan Melaju Ugal-ugalan di Jalanan Situbondo: Nyaris Tabrak Mobil, Begini Nasibnya |
![]() |
---|
Geger 11 Siswa SD di Situbondo Sayat Tangan Sendiri, Ternyata Terinspirasi Konten TikTok |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.