Bisnis Sepeda Redup Setelah Pandemi
Tren Bersepeda Makin Menghilang di Solo, Penjual Sepeda Meraja saat Pandemi Covid-19, Kini Merugi
Penjual sepeda Taufiq Tri Haryono mengaku kini ia tak bisa menjual meski sudah menjatuhkan hingga separuh dari harga saat kulakan
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Harga sepeda kini tengah merosot tajam. Tak seperti saat era pandemi Covid-19 yang benar-benar laku keras.
Salah satu penjual sepeda Taufiq Tri Haryono mengaku kini ia tak bisa menjual bahkan saat ia sudah menjatuhkan harga separuh dari harga saat ia kulakan.
“Dulu (saat pandemi) Rp30 juta, sekarang Rp 15 juta nggak laku. Permintaannya yang nggak ada,” ungkapnya, kepada TribunSolo.com, Selasa (28/1/2025)
Ia lebih spesifik menjual sepeda jenis road bike dengan harga menengah ke atas.
Sebut saja Specialized, Canyon, hingga Focus merupakan merk yang sering ia jual.
Di tokonya ia bahkan masih menyimpan stok lama yang telah menghuni gudang hingga 5 tahun.

Harga yang ditawar terlalu murah membuat ia enggan melepas barangnya.
“Yang di dalam 4-5 tahun. Kita jual murah modal Rp 30 juta. Dijual Rp 15 juta ditawar Rp 10 juta ya terlalu jauh,” ungkapnya.
Menurutnya, sejak tahun 2016 pasar sepeda sudah mulai mapan.
Saat pandemi covid-19 sepeda melonjak terutama untuk jenis sepeda lipat. Namun, hal itu tak berlangsung lama.
Seiring berjalannya waktu harga sepeda merosot hingga kini hampir tak ada permintaan.
“Sepeda stabil tahun 2016-2020. Penggemarnya lumayan banyak. Covid pertama merosot lalu malah melonjak. Tahun 2021 sepeda meningkat. Sepeda balap waktu itu stabil. Mulai menurun setelah 2023 setelah itu sampai sekarang rusak harganya karena pembelinya nggak ada,” jelasnya.
Salah satu faktornya yakni tren olahraga yang berubah.
Kini lebih banyak orang menggandrungi olahraga lari ketimbang sepeda. Selain itu, daya beli masyarakat juga terus merosot.
Baca juga: Pecinta Sepeda Menangis Melihat Ini, Dua Unit Sepeda Lipat Mahal Dihancurkan Petugas Bea Cukai
“Dulu kan permintaan tinggi barang baru keluar barang lama tukar tambah barang lama masih bisa dijual. Orang beralih olahraga dan sepertinya ekonomi tidak baik-baik saja. Dulu Rp 165 juta sekarang Rp 55 juta aja nggak ada yang minat,” tuturnya.
Ia sempat mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1998. Namun, saat itu banting setir masih memungkinkan.
Kini melihat pasar sepeda yang semakin jatuh ia tak melihat adanya peluang bisnis lain.
“(Saat reformasi) saya banting setir ke sport. Kita bisa berganti arah karena kondisi waktu krisis Pak Harto daya beli masih ada. (Sekarang) sepeda menurun mau ganti usaha tapi terus apa,” ungkapnya.
Dalam sebulan ia hanya mampu menjual 2 unit sepeda saja. Kondisi serupa juga dirasakan di berbagai lini. Ia berharap setelah lebaran kondisi ekonomi membaik.
“Saya 2 bulan kemarin bagus tapi jual rugi. Dua bulan kemarin 15 ada. Tapi sebulan ini baru laku 2. Kalau Lebaran bagus kita punya harapan. Kalau Lebaran tidak ada permintaan bagus tanda bahaya. Usaha kecil mengeluh semua,” jelasnya.
(*)
Tren Sepeda Berangsur Menghilang di Solo, Rawan Pencurian Buat Orang Enggan Jadikan Transportasi |
![]() |
---|
Tren Sepeda Hingga Lari di Anak Muda Hanya FOMO? Sosiolog : Lebih Baik Ketimbang Tren Mukbang |
![]() |
---|
Bukan Hanya Penjual Sepeda, Teknisi di Solo Ikut Banjir Rezeki saat Pandemi Covid-19, Kerap Lembur |
![]() |
---|
Tren Sepeda Booming saat Pandemi, Kini Jenis Lain Menghilang, Tapi Road Bike Masih Digemari di Solo |
![]() |
---|
Kisah Larisnya Sepeda Federal di Solo, Penjual Singgung Faktor Customer Ingin Nostalgia Masa Kecil |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.