Hardiknas Tiap 2 Mei, Simak Sejarah Lahirnya Ki Hajar Dewantara hingga 10 Fatwa tentang Ajarannya
Sejarah 2 Mei yang merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yang kemudian diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
TRIBUNSOLO.COM - Sejarah 2 Mei yang merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yang kemudian diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Hari lahirnya Ki Hajar Dewantara masuk dalam catatan sejarah hari ini karena dinilai menjadi tonggak pendidikan nasional.
Siapa sebenarnya Ki Hajar Dewantara?
Apa pula perannya sampai-sampai hari kelahirannya dirayakan setiap tahun dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional?
• Kisah Suparjo Penyandang Tunanetra di Klaten, Nelangsa seusai Usaha Bangkrut hingga Alami Kebutaan
Berikut profil singkatnya, seperti dilansir Kompas.com:
Ki Hajar Dewantara adalah nama alias untuk Raden Mas Soewardi Soerjaningrat sejak 1922.
Lahir pada 1889, tanggal kelahirannya ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional, yaitu setiap 2 Mei.
Penelusuran Kompas.com mendapati penetapan Hari Pendidikan Nasional ini muncul di Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959 dan aturan lain sesudah itu yang merujuk kepada aturan tersebut.
• Dilelang untuk Donasi Penanganan Covid-19, Sepatu Limited Edition Ariel NOAH Terjual Rp 30 Juta
Itu pun, "tentang"-nya adalah "Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur" bersama sejumlah hari peringatan lain.
Merujuk harian Kompas edisi 2 Mei 1968, penetapan tersebut merupakan bentuk penghargaan Pemerintah atas jasa Ki Hajar Dewantara yang telah memelopori sistem pendidikan nasional berbasis kepribadian dan kebudayaan nasional.
Penggunaan nama alias pada 1922 bertepatan dengan langkah Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.
Sejak itu, kiprahnya di dunia pendidikan terus berlanjut, sejalan dengan semangatnya melawan penjajahan.
• Bupati Wonogiri Jekek Antarkan Pulang Pemulung yang Sembuh Covid-19 ke Rumah
Soal ajarannya, barangkali hanya anak-anak generasi Orde Baru yang tumbuh besar dalam deretan slogan dan jargon yang masih ingat beberapa hapalan tentangnya.
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani," tiga frasa yang dulu rutin jadi soal ulangan atau pertanyaan di ujian kecakapan Pramuka tentang ajarannya.
Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia kurang lebih, "Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan."