TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Desa Wirun, yang terletak di Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, merupakan wilayah yang cukup padat penduduk.
Desa Wirun bisa dibilang merupakan salah satu desa yang menjadi ikon Kabupaten Sukoharjo.
Letaknya yang tak jauh dari Kota Solo menjadikan desa ini strategis secara ekonomi maupun sosial.
Baca juga: Asal-Usul Nama Pedan yang jadi Kecamatan di Klaten : Kisah Pangeran Pranowo dan Strategi Pepe Edan
Namun, di balik geliat keseharian dan kemajuan industri lokal, Desa Wirun menyimpan kisah sejarah yang menarik untuk disimak.
Selama ini, Desa Wirun dikenal luas sebagai sentra industri gamelan.
Aktivitas ekonomi utama masyarakat di desa ini adalah sebagai pengrajin gamelan tradisional.
Tidak hanya memenuhi permintaan pasar dalam negeri, gamelan buatan pengrajin Wirun juga telah merambah pasar internasional seperti Belanda dan Austria.
Baca juga: Asal-usul Desa Banaran di Grogol Sukoharjo, Dulu Bernama Bandara dan jadi Kawasan Pelabuhan Penting
Seiring waktu, permintaan akan gamelan terus meningkat, dan industri lokal pun berkembang pesat.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai seni dan budaya tradisional Indonesia masih sangat diminati dunia, sekaligus menjadi sumber ekonomi yang kuat bagi masyarakat setempat.
Asal-Usul Nama dan Legenda Desa Wirun
Tak hanya dikenal karena industri dan kesejahteraannya, Desa Wirun juga memiliki cerita historis yang berasal dari masa runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Nama “Wirun” sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu gabungan kata “wi” yang berarti orang yang sakti atau memiliki kemampuan lebih, dan “run” yang berarti keturunan.
Nama ini mencerminkan nilai-nilai spiritual dan kepercayaan yang mengakar kuat dalam masyarakat setempat.
Menurut cerita turun-temurun, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, beberapa penggawa atau pejabat kerajaan memilih untuk melarikan diri dan bersembunyi di hutan belantara, termasuk wilayah yang kini menjadi Desa Wirun.
Baca juga: Asal-usul Desa Danguran di Klaten, Konon Sudah Berdiri Sejak Tahun 1927
Dalam kisah tersebut, para penggawa menjalani tapa atau meditasi di tengah hutan yang kala itu sangat lebat dan jarang dimasuki manusia.