Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Menangkap Pengemplang Pajak dengan Coretax

Sistem Coretax yang baru diluncurkan per 1 Januari 2025, memiliki fitur baru yakni Pertukaran Informasi Perpajakan. 

Editor: Hanang Yuwono
Istimewa/Dok.Pribadi
Dedi Kusnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, penulis opini berjudul 'Menangkap Pengemplang Pajak Dengan Coretax' yang dimuat TribunSolo.com pada Senin (6/10/2025). 

Kelima, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2021. Kebijakan ini dijalankan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Tujuan dari program ini adalah memberikan kesempatan kepada wajib pajak peserta Pengampunan Pajak 2016, untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi, secara sukarela. Kegiatan ini dilaksakana pada 2022. 

Kelima program tersebut memiliki maksud dan tujuan yang hampir serupa, yakni menghimpun dana dari masyarakat, sekaligus mengumpulkan data harta dan sumber penghasilan yang dimiliki para wajib pajak. Selanjutnya data-data tersebut digunakan untuk melakukan pengawasan kepatuhan wajib pajak di tahun-tahun berikutnya.

Pertukaran Informasi Perpajakan

Setelah beberapa kali menggulirkan kebijakan pengampunan pajak, kini saatnya pemerintah menguji, apakah wajib pajak telah melaporkan seluruh sumber penghasilan dan hartanya dalam SPT Tahunan.

Pemerintah pernah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data Dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan, sebagai payung hukum pelaksanaan pengumpulan data.

Kebijakan ini mengatur kewajiban instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainmemberikan data kepada otoritas pajak. Informasi yang diminta berupa data kekayaan atau harta, utang, penghasilan, biaya, transaksi keuangan, serta data kegiatan ekonomi.

Namun, jumlah data yang diperoleh masih terbatas, hanya bersumber dari entitas dalam negeri. Sedangkan kepemilikan harta tidak hanya disimpan di dalam negeri saja, tapidi luar negeri juga. 

Di sisi lain, 3 program pengampunan pajak yang telah dijalankan sebelum 2012, belum mampu mendongkrak pendapatan dari sektor pajak.

Oleh karenanya, seiring dengan berjalannya programPengampunan Pajak 2016, pemerintah mengesahkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Kebijakan ini didasari oleh perlunya pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan, untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan. Juga sebagai tindak lanjut keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional, yang mengharuskan implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) di setiap negara anggota.

Undang-Undang tersebut mengatur kewajiban Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (LJK Lainnya), dan Entitas Lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan, untuk melaporkan data rekening keuangan milik nasabahnya.

Rekening keuangan yang dimaksud adalah rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain.Informasi yang dimaksudtidak hanya milik nasabah dalam negeri, termasuk juga milik nasabah luar negri. 

Mekanisme pelaporannya, ada yang harus dilakukan secara otomatis dan ada juga yang disiapkan sesuai permintaan negara mitra. Alasan permintaan dapat berupa adanya tindakan pemeriksaan pajak, nota dari negara mitra, atau penegakan hukum.

Beberapa entitas tertentu wajib melaporkan datanya melalui Sistem Penyampaian Informasi Nasabah Asing (SiPINA) yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya,instansi ini meneruskan data tersebut ke otoritas pajak.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved