Sejarah Kuliner Legendaris
Sejarah Sosis Solo, Kisah Gulungan Lembut yang Lahir dari Akulturasi Dapur Eropa dan Jawa
Sosis Solo, begitu mendengar namanya, tentu beranggapan makanan ini berbentuk silinder daging giling padat yang dipanggang hingga beraroma gurih.
Penulis: Tribun Network | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
TRIBUNSOLO.COM - Sosis Solo, begitu mendengar namanya, tentu beranggapan makanan ini berbentuk silinder daging giling padat yang dipanggang hingga beraroma gurih.
Namun begitu Sosis Solo disajikan di hadapanmu, bayangan itu langsung runtuh.
Baca juga: 3 Rekomendasi Sosis di Solo Raya, Ada Sosis Bedug Boyolali hingga Sosis Solo
Yang tampak justru sepotong kecil berwarna keemasan, dibalut kulit tipis dari telur dadar, dengan isi daging sapi cincang berbumbu lembut.
Teksturnya halus, aromanya wangi, dan rasanya tidak seperti sosis yang kamu kenal selama ini.
Lantas, mengapa disebut sosis?
Menurut Murdijati Gardjito, peneliti dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Sosis Solo lahir sebagai hasil akulturasi antara dapur Eropa dan Jawa.
“Sosis hasil akulturasi dari seni dapur Eropa dan Solo, sehingga bentuknya sudah tidak sama dengan sosis-sosis lainnya,” ungkap Murdijati, dikutip dari Kompas.com (10 Juli 2020).
Jika mengintip lebih jauh tentang sejarahnya, pada masa penjajahan Belanda, Solo menjadi kota penting tempat para pejabat kolonial menjalin hubungan dengan raja-raja Mataram.
Bersamaan dengan itu, gaya hidup dan kuliner Eropa pun mulai masuk ke dapur-dapur keraton, salah satunya sosis.
Sosis versi Belanda dibuat dari daging giling yang dicampur susu, bahan yang kala itu terasa asing bagi lidah orang Jawa.
“Orang Solo kepingin merasakan kenikmatan dari sosis orang Belanda,” tutur Murdijati.
“Tapi karena tidak biasa dengan susu, akhirnya mereka membuat versinya sendiri yang cocok dengan lidah wong Solo.”
Dari situlah lahir Sosis Solo, sosis seperti versi Eropa tapi tanpa susu, dengan cita rasa lokal yang lebih kaya rempah seperti merica, bawang putih, dan pala.
Namun kisahnya tak berhenti di situ.
Baca juga: Momen Respati Borong Sosis Solo dan Tawarkan Modal ke Warga Kedunglumbu, Ternyata Ada Program Ini
Menurut Heri Priyatmoko, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Sosis Solo juga merupakan buah kreativitas pengusaha restoran Tionghoa di Solo.
Mereka menangkap peluang untuk menyajikan hidangan istimewa bagi kaum bangsawan dan pejabat kolonial.
“Ditilik dari kacamata ekologi budaya, telur adalah unsur yang tersedia melimpah di tanah Jawa dan cukup diakrabi masyarakat pribumi,” jelas Heri.
Maka diciptakanlah sosis versi Jawa ini, daging berbumbu manis-gurih yang digulung dalam lembaran telur tipis. Membuatnya butuh keahlian khusus jika sedikit saja tergesa, kulitnya akan robek dan gulungannya gagal sempurna.
Berbeda dengan sosis Eropa yang disantap bersama roti, Sosis Solo justru hadir sebagai camilan ringan atau hidangan khas hajatan.
Ia bukan hanya sekadar makanan, tapi simbol manis pertemuan budaya, ketika lidah Jawa mencoba memahami rasa Eropa, lalu menciptakan kelezatannya sendiri.
Kini, setiap gigitan Sosis Solo tak sekadar menyajikan rasa gurih nan lembut, tetapi juga sepotong sejarah tentang bagaimana kreativitas dan adaptasi menjadikan kuliner sebagai bahasa persahabatan lintas budaya.
Sementara itu, laman id.wikipedia.org mencatat bahwa Sosis Solo merupakan hasil adopsi dari sosis ala Belanda pada masa penjajahan, yang kemudian diolah ulang dengan sentuhan bumbu dan gaya lokal khas masyarakat Kota Solo.
Konon, ada kisah menarik di balik kemunculannya. Beberapa sumber menyebut, Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta yang terkenal gemar kuliner, kemudian yang pertama kali meracik dan mengubah resep sosis Eropa agar lebih cocok dengan selera Jawa.
Namun, versi lain mengatakan bahwa Sosis Solo lahir dari rasa penasaran masyarakat yang ingin mencicipi makanan favorit para meneer dan noni Belanda, tetapi dengan bahan yang lebih sederhana dan mudah dijangkau.
Meski berasal dari adaptasi kuliner luar negeri, rasa dan tampilan Sosis Solo justru memiliki identitas yang kuat.
Balutan kulit telur yang lembut, isian daging berbumbu rempah, serta aroma gurih yang menggoda menjadikannya berbeda dari sosis di tempat lain, sebuah perpaduan rasa Timur dan Barat yang berpadu manis di satu gigitan.
Di balik sejarahnya yang ada beberapa versi tersebut, hingga kini kuliner ini masih terus bertahan di hati masyarakat Solo dan sekitarnya.
Sosis Solo masih selalu menjadi pilihan untuk hidangan khas hajatan hingga pernikahan, atau hanya untuk camilan sehari-hari.
Rekomendasi Beli Sosis Solo
1.Sosis Bedug

Sosis Bedug ini terletak di Jalan Pengging-Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Tepatnya di sebelah Barat Alun-Alun Pengging.
Untuk menemukan Sosis Bedug ini, carilah banner Sosis Bedug. Di bagian dalam, Anda bisa melihat lukisan dari Mbah Bedug dan istrinya.
Sosis ini buka setiap hari dari pukul 07.00 hingga 17.00 WIB.
2. Sosis Gajahan
Sosis ini terletak di jalan Brigjen Sudiarto No.92, Danukusuman, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57156.
Reserfasi bisa di nomor: 0812-2795-0515
Lokasi ini buka dari 07.00 WIB - 17.00 WIB.
Menu dari Sosis Gajahan ada Sosis Basah Ayam dan Sapi, juga goreng Ayam dan Sapi.
(*)
Sejarah Tempat Makan 'HIK' di Solo Raya, Apa Bedanya dengan Angkringan? |
![]() |
---|
Sejarah Nasi Jemblung : Kuliner Legendaris Favorit Raja Pakubuwono X yang Kini Mulai Langka di Solo |
![]() |
---|
Sejarah Bakmi Jowo Mbah Mangoen, Rekomendasi Kuliner Enak di Solo dengan Nuansa Tempo Dulu |
![]() |
---|
Sejarah Cabuk Rambak, Kuliner Legendaris dari Kreatifitas Warga Solo Manfaatkan Bahan Sederhana |
![]() |
---|
Sejarah Tempe Gembus, Kuliner Legendaris Solo Raya yang Pernah jadi Penyelamat saat Krisis Pangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.