Fakta Menarik Tentang Solo
Sejarah Dibangunnya Beteng Trade Center BTC Solo yang Kini Semakin Sepi Pengunjung
Awalnya, pusat perbelanjaan ini direncanakan akan diberi nama Pasar Klewer II, sebagai bentuk perluasan fungsi Pasar Klewer
Penulis: Tribun Network | Editor: Rifatun Nadhiroh
TRIBUNSOLO.COM - Beteng Trade Centre, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Beteng, terletak di Jalan Mayor Sunaryo, Kedung Lumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan grosir tersibuk di Solo.
Namun, seiring waktu, geliatnya mulai meredup bukan karena pesaing toko besar, melainkan oleh hadirnya e-commerce yang mengubah pola belanja masyarakat.
Awal mula berdirinya Beteng Trade Centre dimulai pada awal tahun 1990-an.
Kawasan tempat bangunan ini berdiri dulunya merupakan asrama Brigade Infanteri VI Kostrad RI.
Baca juga: Sejarah Makam Ronggowarsito di Trucuk Klaten: Jejak Pujangga Terakhir Jawa
Pihak pengembang, PT Pondok Solo Permai, kemudian merancang pembangunan pusat perdagangan baru dengan konsep pasar modern yang menyerupai pusat perbelanjaan atau mall sesuatu yang masih jarang ditemukan di Solo kala itu.
Pada tahun 1991, proyek ini direncanakan dalam tiga tahap.
Tahap pertama mencakup pembangunan rumah toko (ruko) serta area perbelanjaan grosir.
Tahap kedua melibatkan pengembangan area perkantoran dan pertokoan di sekitar Benteng Vastenburg, serta pembangunan hotel pendukung.
Tahap ketiga merupakan perluasan dari tahap pertama, untuk menampung lebih banyak pedagang dan pengunjung.
Awalnya, pusat perbelanjaan ini direncanakan akan diberi nama Pasar Klewer II, sebagai bentuk perluasan fungsi Pasar Klewer yang telah lama dikenal sebagai pusat tekstil grosir di Surakarta.
Namun, penamaan tersebut menuai penolakan dari pedagang Pasar Klewer karena dianggap bisa menggerus pengunjung pasar lama.
Akhirnya, nama Beteng Trade Centre dipilih sebagai identitas baru.
Beteng resmi beroperasi pada 2 Maret 1993, ditandai dengan acara sederhana berupa pemotongan tumpeng dan pembukaan sejumlah kios di lantai dasar.
Awal keberadaannya cukup menjanjikan, namun tak lama kemudian, Beteng mengalami masa-masa sulit.
Masa Sulit dan Upaya Kebangkitan
Tahun 1998 menjadi masa paling berat dalam sejarah Beteng Trade Centre.
Kerusuhan besar yang melanda Surakarta menyebabkan banyak bagian bangunan rusak parah dan aktivitas perdagangan terhenti total.
Hanya beberapa kios di lantai satu yang masih bertahan, sementara sebagian besar area menjadi kosong dan terbengkalai. Dampaknya, roda perekonomian di kawasan Beteng pun nyaris lumpuh.
Baca juga: Sejarah Koridor Gatsu Solo yang Kini Jadi Ruang Kreatif Seniman Solo, Dulu Nyaris Gagal Terwujud
Meski begitu, semangat untuk menghidupkan kembali Beteng tidak pernah benar-benar padam. Pada 2001, DPRD Kota Surakarta mendorong agar Beteng kembali difungsikan, bahkan mengusulkan agar kawasan ini dijadikan pusat kerajinan nasional.
Akhirnya, pada 23 November 2004, dilakukan peletakan batu pertama tanda dimulainya renovasi besar-besaran oleh Wali Kota Solo saat itu, Slamet Suryanto.
Renovasi tersebut menghadirkan wajah baru Beteng Trade Centre dengan tampilan klasik berwarna krem, gaya arsitektur yang populer di era 2000-an.
Pada November 2005, setelah proses panjang renovasi selesai, Beteng Trade Centre resmi beroperasi kembali. Dengan wajah baru dan fasilitas yang lebih baik, pusat perdagangan ini kembali menggeliat, bahkan menjadi salah satu pusat grosir terbesar di Surakarta.
Perkembangan Setelah Renovasi
Pasca-renovasi, Beteng Trade Centre tampil lebih modern dan luas. Dengan ribuan kios yang diisi para pedagang pakaian dan tekstil, Beteng sempat dijuluki sebagai “Mangga Dua-nya Surakarta” karena konsep grosirnya yang mirip dengan pusat perdagangan terkenal di Jakarta.
Selama beberapa tahun setelah peresmiannya kembali, Beteng menjadi ikon ekonomi dan salah satu destinasi utama bagi para pedagang dari berbagai daerah.
Namun, memasuki era digital dan maraknya e-commerce, geliat Beteng kembali menurun.
Kini, bangunan bersejarah itu menjadi saksi perjalanan panjang perubahan pola perdagangan di Kota Solo dari pasar tradisional, menuju pusat grosir modern, hingga ke era digital masa kini.
(*)
| Awal Mula Terbentuknya Sungai Bengawan Solo, Ada Legenda Seorang Ibu yang Tangisi Kematian Anaknya |   | 
|---|
| Ini Perbedaan Gudeg Khas Solo dan Yogyakarta, dari Warna hingga Lauk Pelengkap Ternyata Tak Sama |   | 
|---|
| Sejarah Kampung Sewu di Tepi Bengawan Solo, Diyakini Lebih Tua Dibandingkan Berdirinya Kota Solo |   | 
|---|
| Sejarah Dibangunnya Stadion Manahan Solo, Pemberian Nama Bukan Terkait Tempat Berlatih Memanah |   | 
|---|
| Asal-usul Nama Kelurahan Ketelan di Solo : Dulu jadi Pusat Pewarnaan Batik Era Praja Mangkunegaran |   | 
|---|

 
	
						 
							 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.