Breaking News

Fakta Menarik Tentang Solo

Kenapa Pria Solo Simpan Keris di Belakang saat Pakai Baju Adat? Ternyata Ini Alasan dan Maknanya

Orang Solo meyakini, keris bukan alat untuk menyerang, tetapi lambang kemampuan untuk menahan diri.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
PAKAIAN ADAT SOLO - Presiden ke-7 RI Jokowi saat mengenakan baju daerah Ageman Songkok Singkepan Ageng, pada Upacara HUT ke-78 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2023). Ini lho makna kenapa orang Solo selalu memakai keris di belakang pakaian adat. (Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden) 
Ringkasan Berita:
  • Bagi orang Solo, posisi keris mencerminkan karakter dan filosofi hidup: rendah hati, sopan, dan mawas diri.
  • Keris di belakang melambangkan kedamaian dan kerendahan hati; di depan menandakan kesiapan berjuang atau melawan; di samping menunjukkan kesiapsiagaan prajurit.
  • Orang Solo percaya, kekuatan sejati bukan pada tajamnya keris, melainkan pada kemampuan mengendalikan diri dan menjaga harmoni.

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Bagi masyarakat Solo, Jawa Tengah, keris bukan sekadar pusaka atau senjata tajam yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Ia adalah cerminan budi pekerti, simbol kehormatan, dan sekaligus wujud tata krama.

Dalam kehidupan orang Solo yang halus dan penuh unggah-ungguh, cara seseorang membawa keris dapat mengungkapkan siapa dirinya, bagaimana sikap batinnya, bahkan situasi sosial yang sedang ia jalani.

Baca juga: Kenapa Keraton Solo Punya 2 Alun-alun? Ternyata Alkid dan Alun-alun Lor Punya Fungsi Berbeda

Keris telah menjadi bagian dari napas budaya Jawa, termasuk di Surakarta yang dikenal sebagai pusat adat Mataram.

Di balik bilah logamnya yang berliku dan pamor yang berkilau, tersimpan pandangan hidup tentang keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan.

Orang Solo meyakini, keris bukan alat untuk menyerang, tetapi lambang kemampuan untuk menahan diri.

Keris di Belakang: Simbol Andhap Asor dan Kedamaian

Dalam keseharian, orang Solo biasa menempatkan keris di bagian belakang tubuh, tepat di lipatan kain jarit dan sabuk stagen.

Posisi ini disebut “satriya keplayu”, yang dalam adat Solo dianggap sebagai bentuk paling sopan.

Berbeda dengan masyarakat Yogyakarta yang menilai posisi miring lebih santun, bagi orang Solo, keris yang tegak lurus di belakang justru menunjukkan sikap siap siaga tanpa kehilangan ketenangan.

Letak di belakang memiliki makna mendalam.

Baca juga: Kenapa Boyolali Dijuluki Kota Tersenyum? Ternyata Begini Sejarahnya, Slogan yang Sarat Makna

Ia melambangkan andhap asor, yang bermakna kerendahan hati yang menjadi dasar perilaku orang Jawa.

Meskipun keris adalah simbol kekuatan dan kesaktian, orang Solo percaya bahwa kemampuan sejati tidak perlu dipamerkan.

Dalam pandangan mereka, kehebatan justru tampak dari cara seseorang mengendalikan diri, bukan dari seberapa sering ia memamerkan kekuasaannya.

Selain itu menurut praktisi, orang Jawa menaruh keris di belakang karena tidak suka pamer dan juga simbol bahwa orang itu mampu menguasai hawa nafsunya.

Dalam konteks kerajaan, posisi keris di belakang juga menunjukkan bahwa negeri dalam keadaan damai.

Baca juga: Dari Benteng hingga Kauman, Kenapa Solo dan Jogja Punya Banyak Kemiripan? Inilah Asal-usulnya

Saat seorang abdi dalem atau bupati menghadap raja dengan keris di belakang, itu pertanda kepatuhan dan penghormatan.

Tidak ada ancaman, tidak ada niat berperang, semuanya tunduk pada tata krama dan harmoni.

Keris di Depan: Tanda Perlawanan dan Kesiapan Mati

Namun, ada pula kondisi ketika keris dikenakan di depan, tepat di bagian perut.

Posisi ini disebut “sikep”.

Dalam tradisi Solo dan Mataram, gaya ini biasanya hanya digunakan oleh tokoh spiritual atau pejuang yang tengah berada dalam suasana perang batin maupun fisik.

Seperti terlihat pada lukisan Pangeran Diponegoro atau Tuanku Imam Bonjol.

Hal itu tanda bahwa mereka siap mati membela keyakinannya.

Baca juga: Kenapa Rasa Makanan di Solo Cenderung Manis? Pengaruh Sistem Tanam Paksa saat Penjajahan Belanda

Bagi masyarakat Solo, keris di depan bukan untuk gaya, melainkan pernyataan sikap.

Ia berarti perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap tidak adil.

Pada masa kerajaan, seorang bangsawan yang mengenakan keris di depan menandakan bahwa ia sedang dalam posisi menentang atau melawan perintah raja.

Dengan kata lain, posisi keris bisa menjadi bahasa tubuh politik: di belakang berarti patuh, di depan berarti berani menantang.

Keris di Samping: Antara Kesiapsiagaan dan Mobilitas

Selain di belakang dan depan, posisi keris juga bisa di samping, khususnya bagi prajurit atau penunggang kuda.

Cara ini disebut di-sothe, yakni keris diselipkan di sisi pinggang agar mudah dicabut bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Ada pula posisi ngewal, ketika gagang keris miring ke kiri.

Posisi ini kerap digunakan oleh pasukan pemanah atau mereka yang membawa senjata tambahan di sisi kanan.

Di lingkungan keraton Surakarta, gaya seperti ini lazim ditemukan dalam arak-arakan prajurit pada acara resmi.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved