Fakta Menarik Tentang Solo
Mitos Sasana Sewaka, Titik Sakral Keraton Solo yang jadi Tempat Sinuhun Semedi
Bangunan ini menjadi panggung sakral di mana Sri Susuhunan diyakini berkomunikasi secara kosmik dengan kekuatan tertinggi.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Ringkasan Berita:
- Sasana Sewaka di Keraton Kasunanan Surakarta merupakan pendapa sakral tempat raja melaksanakan ritual Lenggah Sinewaka untuk memohon kesejahteraan rakyat dan menjaga harmoni kosmos.
- Bangunan berbentuk Joglo Pangrawit ini memadukan arsitektur Jawa dengan sentuhan Eropa, mencerminkan akulturasi budaya tanpa kehilangan nilai kejawen.
- Secara filosofis, Sasana Sewaka melambangkan kepemimpinan Dewa Raja, keseimbangan spiritual, dan kebesaran budaya Jawa.
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo tidak sekadar menjadi pusat pemerintahan dan budaya Jawa, tetapi juga mempertahankan nilai kepercayaan Jawa kuno.
Di dalam kompleks megah ini berdiri berbagai bangunan tradisional seperti Joglo, Limasan, dan Kampung, yang tersusun mengikuti tata ruang simbolik.
Namun, di antara seluruh bangunan itu, terdapat satu yang memiliki fungsi spiritual tertinggi bagi seorang raja Jawa, yaitu Sasana Sewaka.
Baca juga: Sejarah Kori Kamandungan : Gerbang Sakral Menuju Keraton Solo yang Dibangun 9 Raja
Makna dan Fungsi Sakral Sasana Sewaka
Sasana Sewaka bukan sekadar pendapa penerima tamu kerajaan.
Bangunan ini menjadi panggung sakral di mana Sri Susuhunan diyakini berkomunikasi secara kosmik dengan kekuatan tertinggi.
Bagi masyarakat Jawa, rumah atau bangunan mencerminkan status sosial dan spiritual penghuninya.
Karena itu, Sasana Sewaka dengan bentuk arsitektur Joglo Pangrawit melambangkan status spiritual tertinggi raja sebagai pemimpin yang menjadi penghubung antara manusia dan alam adikodrati.
Sasana Sewaka didirikan pada tahun Jawa 1697 oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, salah satu raja yang dikenal banyak membangun bagian penting dari Keraton Surakarta.
Arsitektur Joglo Pangrawit yang digunakan memiliki struktur tumpang lima dengan saka guru sebagai tiang penyangga utama.
Ciri khas lainnya adalah adanya saka bentung pada emper (serambi) yang membuat konstruksi ini disebut juga Lambang Gantung, simbol keseimbangan antara langit dan bumi.
Baca juga: Momen Prosesi Pemakaman Raja Solo PB XIII di Imogiri : Lewati Ratusan Anak Tangga, Disambut Gerimis
Arsitektur Joglo Pangrawit dan Falsafahnya
Joglo Pangrawit bukan hanya karya arsitektur, tetapi juga lambang filosofi hidup Jawa.
Bagian atap yang bertumpuk lima melambangkan hirarki spiritual manusia dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Tiang utama atau saka guru menjadi simbol empat arah mata angin yang menopang dunia, dengan makna bahwa seorang pemimpin harus menjaga keseimbangan di segala arah kehidupan rakyatnya.
Menurut arsitek kolonial Belanda Ir. Th. Karsten, pendapa seperti ini di masa lalu juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan seni atau teater terbuka, mirip dengan toneel pada zaman Yunani dan Romawi.
Baca juga: Payung Jenazah Raja Solo PB XIII Tersangkut di Tangga Imogiri, Prosesi Pemakaman Tetap Khidmat
| Sejarah Busana Pengantin Dodotan Solo Basahan yang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda |
|
|---|
| Mengenal Sejarah dan Fungsi Samir, Selempang yang Wajib Dikenakan Pengunjung Saat Masuk Keraton Solo |
|
|---|
| Sejarah Pasar Klithikan Notoharjo Solo, Dari Lokalisasi Silir hingga Jadi Pusat Barang Bekas Populer |
|
|---|
| Sejarah Dibangunnya Beteng Trade Center BTC Solo yang Kini Semakin Sepi Pengunjung |
|
|---|
| Awal Mula Terbentuknya Sungai Bengawan Solo, Ada Legenda Seorang Ibu yang Tangisi Kematian Anaknya |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.