Fakta Menarik Tentang Solo

Kenapa Orang Solo Suka Minum Teh? Ternyata Sudah jadi Tradisi Sejak Abad ke-18, Dulu Sajian Istana

Berkat tradisi ini, teh Solo sempat viral karena rasanya yang enak dan beda dari teh-teh daerah lain.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
KOMPAS.com/YUHARRANI AISYAH
TEH NDORO DONKER - Premium Black Tea Jasmine, salah satu menu teh di Ndoro Donker, Kemuning, Karanganyar. Rasanya pekat, segar, dan harum pada 2023 lalu. (KOMPAS.com/YUHARRANI AISYAH) 
Ringkasan Berita:
  • Budaya ngeteh di Solo telah menjadi bagian dari kehidupan sosial sejak masa Keraton Mataram, bahkan tercatat dalam Serat Centhini abad ke-19.
  • Tradisi ini berkembang dari istana hingga rakyat jelata, menjadi simbol keramahan dan penghormatan terhadap tamu.
  • Kini teh hadir di segala lapisan masyarakat—dari poci keraton hingga es teh plastikan—melambangkan keakraban dan warisan budaya yang tak lekang waktu.

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Masyarakat Solo, Jawa Tengah, dikenal memiliki tradisi turun temurun yakni kebiasaan ngeteh alias meminum teh.

Berkat tradisi ini, teh Solo sempat viral karena rasanya yang enak dan beda dari teh-teh daerah lain.

Kebiasaan ngeteh orang Solo ini terlihat dari menjamurnya wedangan (angkringan) yang menjual aneka racikan wedang teh, di samping nasi kucing dan aneka makanan lain.

Baca juga: Kenapa Pria Solo Simpan Keris di Belakang saat Pakai Baju Adat? Ternyata Ini Alasan dan Maknanya

Nah, cara penyajian teh di Solo pun beragam.

Ada yang diseduh dalam poci tanah liat, disajikan di gelas kaca, cangkir blirik, hingga wadah plastik berisi es teh yang kini marak di berbagai penjuru kota.

Teh di Solo tidak hanya diminum karena rasanya yang segar dan harganya yang terjangkau, tetapi juga karena maknanya sebagai minuman pemersatu, pengikat percakapan, dan bentuk penghormatan terhadap tamu.

Uniknya, banyak warga Solo memiliki kebiasaan “mengoplos” beberapa merek teh untuk menciptakan cita rasa khas lebih wangi, kental, dan berwarna pekat.

Hal ini menjadi rahasia kecil yang diwariskan dari generasi ke generasi, memperkaya karakter teh Solo yang khas dan sulit ditiru di daerah lain.

Baca juga: Kenapa Keraton Solo Punya 2 Alun-alun? Ternyata Alkid dan Alun-alun Lor Punya Fungsi Berbeda

Sejarah Kebudayaan Ngeteh

Kebiasaan ngeteh di tanah Jawa, khususnya di Solo, ternyata memiliki akar sejarah yang panjang.

Catatan tertua mengenai minuman teh muncul dalam karya sastra monumental Serat Centhini, yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwono V antara tahun 1814 hingga 1823.

Dalam kisahnya, disebutkan tokoh Mas Cebolang yang singgah di rumah abdi dalem Keraton Mataram dan disuguhi nasi, dendeng, jenang, telur, serta teh manis dengan gula aren.

Cerita ini menjadi bukti bahwa teh telah menjadi bagian dari budaya jamuan masyarakat Jawa sejak berabad-abad lalu.

Dalam Serat Centhini, teh tidak hanya berfungsi sebagai minuman penyegar, tetapi juga memiliki nilai simbolik dan spiritual.

Teh disajikan untuk menghormati tamu, dijual di pertunjukan wayang, bahkan menjadi bagian dari sesaji dalam upacara adat.

Baca juga: Kenapa Boyolali Dijuluki Kota Tersenyum? Ternyata Begini Sejarahnya, Slogan yang Sarat Makna

GORENGAN - Sajian gorengan di Wedangan Slank Karanganyar, di Dusun Padangan, Kelurahan Jungke, Kecamatan / Kabupaten Karanganyar, Kamis (16/10/2025).
GORENGAN - Sajian gorengan di Wedangan Slank Karanganyar, di Dusun Padangan, Kelurahan Jungke, Kecamatan / Kabupaten Karanganyar, Kamis (16/10/2025). (TRIBUNSOLO.COM/Anggoro Sani)

Dari Keraton ke Perkebunan Teh Boyolali

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, mencatat bahwa teh mulai dibudidayakan secara besar-besaran di tanah Jawa pada masa kolonial Belanda.

Tahun 1833, Inspektur Budi Daya Teh di Hindia Belanda, Jacobson, mendatangkan biji teh dari Tiongkok untuk ditanam di 14 titik di Jawa.

Salah satu wilayah yang menjadi pusat budidaya adalah sekitar Surakarta dan Boyolali.

Budaya teh mencapai masa kejayaan pada era Paku Buwono X (1893–1939).

Sang raja bahkan mendirikan pabrik teh bernama Madusita di Ngampel, Boyolali.

Pabrik tersebut memproduksi teh berkualitas tinggi yang diekspor hingga ke Eropa.

Dalam naskah Serat Biwadha Nata, disebutkan bahwa pabrik teh ini merupakan kebanggaan Kasunanan Surakarta.

Keberadaan pabrik Madusita membawa dampak ekonomi yang besar bagi warga sekitar.

Masyarakat lokal bekerja sebagai pengangkut daun teh hijau, penjaga tungku kayu bakar, hingga pekerja pengemasan teh kering.

Teh tidak hanya menjadi komoditas, tetapi juga sumber kehidupan bagi banyak keluarga di lereng Merapi dan Merbabu.

Baca juga: Kenapa Kebanyakan Selat Solo Disajikan dalam Kondisi Dingin? Ternyata Begini Sejarahnya

Gaya Hidup Kaum Bangsawan dan Elite Kolonial

Pada masa itu, minum teh juga menjadi simbol status sosial.

Kaum bangsawan Jawa meniru gaya hidup orang Belanda yang gemar minum teh sambil bersantai.

Namun berbeda dengan di negeri asalnya, di Hindia Belanda tradisi ini justru berkembang lebih kuat.

Keluarga bangsawan seperti Kartini dan Sosroningrat dikenal memiliki kebiasaan minum teh di sore hari.

Mereka menyesap teh dari cangkir porselen halus dengan tata cara yang sopan, tidak boleh menyeruput dengan suara, dan disajikan dengan kue kecil sebagai pendamping.

Tradisi ini bahkan menjadi bagian dari etiket kerajaan.

Pada tanggal 2 Juli 1901, ketika Raja Siam (Thailand) berkunjung ke Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta, teh disajikan sebagai bagian dari jamuan agung.

Pihak istana memperlihatkan kemegahan dan kesantunan mereka melalui upacara minum teh yang elegan.

Selain itu, perlengkapan teh seperti poci, teko, dan cangkir dari perak atau emas menjadi simbol kemewahan dan kebangsawanan.

Semakin indah peralatan tehnya, semakin tinggi status sosial pemiliknya.

KULINER LEGENDARIS - Es teh manis yang segar untuk pelepas dahaga di tengah cuaca panas beberapa waktu lalu. Begini sejarah teh kampul, minuman khas Solo, Jawa Tengah.
KULINER LEGENDARIS - Es teh manis yang segar untuk pelepas dahaga di tengah cuaca panas beberapa waktu lalu. (TribunJogja/Tribunnews.com)

Dari Istana ke Angkringan: Teh Menjadi Milik Rakyat

Seiring perubahan zaman, teh tak lagi menjadi minuman kaum elite.

Tradisi ngeteh meluas dan menjadi kebiasaan masyarakat dari berbagai lapisan.

Di Solo, hampir setiap rumah memiliki stok teh kering di dapur. Menyuguhkan teh kepada tamu sudah menjadi etika sosial yang tak tertulis.

Dalam pandangan masyarakat, menyambut tamu tanpa teh dianggap kurang sopan.

Air putih dinilai terlalu sederhana, sedangkan teh melambangkan penghargaan dan keramahan.

Karena itu, di mana pun seseorang bertamu di Solo, hampir pasti akan disuguhi secangkir teh hangat.

Kini, teh bukan hanya hadir di ruang tamu, tetapi juga di warung kaki lima, angkringan, dan kafe modern.

Di sepanjang jalan-jalan Solo, para penjual es teh plastikan berjejer hampir setiap lima hingga sepuluh meter.

Es teh menjadi minuman rakyat yang merakyat menyegarkan, murah, dan selalu tersedia.

Beberapa warga bahkan memiliki kebiasaan unik, seperti hanya minum es teh dalam wadah plastik karena porsinya lebih banyak, atau selalu memilih “teh adem”. teh suhu ruang yang tidak terlalu panas dan tidak dingin.

Kebiasaan-kebiasaan kecil ini menunjukkan bagaimana teh bukan sekadar minuman, melainkan bagian dari gaya hidup sehari-hari.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved